Selasa, 07 Mei 2013

MEMPOLEMIKKAN PLURALISME DAN GUS DUR



Syukron Affani
www.gusdur.net
Begitu Presiden SBY menyebut Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Bapak Pluralisme pada acara pemakaman Gus Dur, banyak orang dari kalangan pesantren sedikit tertegun. Presiden menyandangkan predikat tersebut untuk mengenang jasa-jasa besar Gus Dur sebagai tokoh kerukunan umat beragama. Istilah pluralisme belum terlalu lama dipolemikkan di kalangan umat Islam bahkan ujung-ujungnya, MUI melabeli haram terhadap aktivitas-aktivitas keagamaan yang mewakili istilah tersebut.
Sepertinya saja tidak banyak pihak yang mempersoalkan penyematan tersebut karena toh bagaimanapun masyarakat berkeinginan mengenang dan menghargai Gus Dur, gelar apapun bisa saja dialamatkan kepada Gus Dur. Namun tampaknya bagi Gus Sholah, pluralisme yang diasumsikan kepada perjuangan Gus Dur harus "diluruskan" dengan penafsiran yang benar. Pada acara peringatan 40 hari meninggalnya Gus Dur di Masjid al-Akbar Surabaya, Gus Sholah memberikan catatan garis bawah bahwa berdasarkan apa yang dipahami Gus Sholah, perjuangan kemajemukan yang digelorakan Gus Dur adalah kemajemukan sosial. Gus Sholah hendak menghindarkan Gus Dur dari kontroversi berkelanjutan mengenai perjuangan kemajemukan yang digelorakan semasa hidupnya.
Sebagai tokoh Islam, Gus Sholah tentu mengikuti perdebatan yang menarik dan mengulur di tengah-tengah masyarakat beberapa waktu lalu terkait dengan isu pluralisme sebagai pandangan yang melihat semua ajaran agama memiliki kebenaran yang setara. Isu ini bergulir panas di kalangan umat Islam dan disikapi oleh Majelis Ulama Indonesia dengan fatwa haram pluralisme. Pluralisme agama dinilai meruntuhkan identitas primordial Islam (Q.S Ali Imron 3:19) sebagai agama yang paling mutlak dan absolut.
Kalangan umat Islam yang menolak pandangan kemajemukan model pluralisme kesetaraan agama tersebut tidak menampik bahwa Allah menciptakan manusia dalam banyak situasi keragaman, namun mereka selalu siap mempersoalkan keabsahanan pandangan kesetaraan agama. Demikian sensitifnya mereka, kata "pluralisme" menjelma sebagai sesuatu yang konotasinya pasti negatif dan syarat agenda tersembunyi untuk merubuhkan persatuan umat Islam (ukhuwah Islamiyah). Terkecuali, kata  "pluralism" diganti (bukan semata dimaknai) dengan kata "pluralitas".
Gus Dur mengikuti perkembangan isu tersebut dan termasuk salah satu tokoh yang menjadi sorotan. Bahkan Gus Dur meminta agar menghindari penggunaan istilah pluralisme yang terlanjur "dihakimi" massa tersebut dan menganjurkan penggunaan kata kemajemukan demi terhindarnya kesalahpahaman. Gus Dur sadar tidak berguna berurusan dengan istilah yang dipermasalahkan. Toh, secara substantif makna dari istilah tersebut belum tentu ditolak dan bahkan telah dilaksanakan oleh umat Islam.
Menghabiskan waktu untuk mendiskusikan pemahaman pluralisme yang dimaknai dengan kesetaraan kebenaran ajaran semua agama, sama sekali tidak produktif mendorong dialog antar umat beragama di saat ini. Bukan hanya mayoritas umat Islam, tetapi juga umat Nasrani dan umat agama-agama lain yang tidak akan rela dirayu atau paksa mengakui kebenaran ajaran agama lain. Kerukunan umat beragama tetap penting untuk dilestarikan namun isu pendorongnya harus dilakukan melalui kerangka dan paradigma yang nyaman bagi semua pihak.
Pluralisme Sosial, Yes! Pluralsme Agama, No!
Pluralisme tidak menitik beratkan pandangannya pada keragaman sisi-sisi yang berbeda dan potensial bertolak belakang (kontradiktif) melainkan melihat pada aspek-aspek kesamaan yang dapat didekatkan bahkan dipersamakan. Sebagian orang lelah menyaksikan pertikaian yang bersumbu dari perbedaan pandangan dan ajaran kebenaran agama. Cita-cita mereka untuk mendamaikan semua agama dilakukan dengan meneracak esensi ajaran agama-agama melalui simpul-simpul inti ajaran yang dapat dipertautkan antara satu agama dengan agama yang lain.
Kegairahan merukunkan dan mendamaikan umat beragama melalui ajaran agama-agama tersebut patut direspon secara positif namun dengan catatan yang ketat. Sentimen keberagaman masing-masing umat beragama tidak akan mudah ditundukkan ke dalam penyederhanaan-penyederhanaan pandangan bahwa pada dasarnya semua ajaran agama adalah sama dan karena itu setara posisinya  dalam arasy kebenaran.
Ada cara lain yang lebih memungkinkan bagi terciptanya kerukunan dan kedamaian antar umat beragama, yaitu aspek sosial dan budaya. Rasulullah memberikan contoh merekonstruksi tatanan masyarakat di Madinah bukan melalui kerangka keagamaan tetapi melalui kerangka sosial dan budaya. Keyakinan dan keimanan keagamaan tidak ditonjolkan dalam rekonstruksi tersebut. Justru agama dipandang sebagai bagian dari proyek penataan sosial dan budaya. Umat Islam, suku pagan Aus dan Khazraj, serta orang-orang Yahudi dilibatkan sebagai satu entitas masyarakat yang diikat dalam satu ikatan sosial: masyarakat Madinah bersatu!
Artinya, kampanye penataan masyarakat Madinah digalakkan oleh Rasulullah melalui perspektif pluralisme sosial-budaya dan bukan melalui gembar-gembor pluralisme agama. Kesetaraan yang ditunjukkan Rasulullah merupakan kesetaraan sebagai masyarakat sosial, dan budaya Madinah. Pluralisme social dapat menjadi pengikat yang kuat diantara anasir-anasir kekuatan politik dan agama saat itu. Apalagi ancaman instabilitas politik internal Madinah sering terjadi ditambah ancaman gangguan yang mungkin datang dari kekuatan dari luar (Mekkah). Kebebasan berkeyakinan dan berekspresi justru sangat dilindungi dalam piagam sosial Madinah yang dicetuskan oleh Rasulullah.
Piagam Madinah merupakan bagian dari rekonstruksi pluralisme sosial masyarakat Madinah yang mensubordinat kepentingan politik dan agama demi kenyamanan, keamanan, dan ketertiban masyarakat Madinah. Kelompok pendatang (muhajirin) dipersaudarakan dengan penduduk lokal (Anshar) guna mendukung eratnya ikatan emosional dan social masyarakat Madinah. Sulit membayangkan terciptanya masyarakat yang berdamai kala itu bila Rasulullah mengangkat isu sensitif keagamaan.
Pada tataran teologis, umat Islam sulit menerima kampanye John Hick untuk mengamini konsep agama globalnya: satu pandangan keagamaan tentang sang Tunggal namun dieksepsi dengan beragam penghayatan. Cita-cita satu agama global John Hick hanya dapat diapresiasi oleh sedikit elit agama yang merasa digempur letih menyaksikan konflik-konflik keagamaan. Namun, dari sisi sosiologis dalam pengertian kesadaran terhadap hubungan-hubungan lingkungan kemasyarakatan, umat Islam pasti sanggup diajak duduk sama rata dan berdiri sama tinggi dengan semua entitas agama. Aspek sosiologis ini memiliki keunggulan karena suatu agama dipeluk oleh orang-orang dari berbagai suku, klan, dan kawasan. Kesadaran sosiologis lebih mudah dikondisikan daripada kesadaran keagamaan yang sarat dengan sentimen-sentimen kebenaran.
Gus Dur jelas bukan penggiat pluralisme agama, persis seperti Romo Magnis Suseno juga bukan penggiat pluralisme agama dari kalangan Kristen. Andai apa yang diperjuangkan Gus Dur nampak sebagai pluralisme agama, lebih disebabkan oleh agama merupakan faktor penting dalam pranata sosial di Indonesia. Gus Dur mengambil peran sebagai aktor inti kerukunan umat beragama bukan untuk meyakini klaim kebenaran seluruh ajaran historis agama lain. Keyakinan seorang Gus Dur terhadap kebenaran telah diwakilkannya kepada ajaran Islam semata, sementara kebenaran agama lain, sebagaimana ditegaskan oleh Masdar F. Mas'udi, biar menjadi urusan Allah. Yang paling penting, masyarakat dapat hidup rukun dalam satu payung hukum, sosial, dan budaya yang saling menghargai. Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar