Sabtu, 04 Mei 2013

TENTANG METODE PENELITIAN: SEBUAH PENGANTAR SEDERHANA



  1. GAMBARAN PEMBUKA
Alkisah, dipinggiran sebuah hutan nan lebat seorang petualang alam bernama Albion sedang mengamati kondisi sekitar sambil memeriksa senapan, tali, pisau, kaleng air, kompas, alat komunikasi darurat dan peralatan lainnya. Kini ia bersiap-siap menjelajah hutan yang belum dikenalnya itu. Beberapa hari sebelumnya, Albion berhasil mengumpulkan beberapa informasi penting dari penduduk pinggiran hutan seperti legenda mengenai hutan itu dan beberapa petunjuk untuk jalur-jalur yang memungkinkan dan yang berbahaya.

Diwaktu yang sama, Albion bertemu dengan Jibran, seseorang yang juga hendak menjelajah hutan itu. Berbeda dengan Albion, Jibran hanya menunjukkan sebilah pisau kecil sebagai bekal. Jibran merasa tak perlu melakukan persiapan apapun. Ia percaya pada kemampuannya sendiri. Ia percaya pada instingnya untuk menaklukkan teror hutan itu.
“Kau tentu seorang yang hebat…,” komentar Albion.
“Hutan yang eksotik..,” Jibran menatapkan matanya penuh percaya diri ke pucuk-pucuk pohon besar disekitarnya, “Aku tahu harus bagaimana dengan hutan ini. Pisauku yang akan menunjukkannya.” Jibran menatap Albion dan alat-alat bawaannya. Keduanya pun berpisah masuk hutan asing tersebut.
Siapakah diantara keduanya yang akan berhasil menjelajahi hutan dengan selamat? Terlihat seperti apa Albion dan Jibran menunjukkan dirinya untuk menjelajahi hutan. Jibran dengan pisaunya, jelas kualitas seorang jago dan hebat. Kalau tidak, berarti ia seorang yang nekat. Kenapa? Kita tentu tahu jawabannya kecuali Sahabat tidak mengerti apakah hutan itu. Albion ? Kita bayangkan saja, betapa ribet ia dengan senapan dan sebagainya. Tetapi itulah kualitas Albion. Ia bersiap-siap dengan segala kemungkinan di hutan. Albion seorang yang berhitung dengan resiko hutan. Sebab, tujuannya ke hutan bukan untuk bunuh diri atau menjadi Tarzan karena tidak bisa kembali pulang.

  1. METODE PENELITIAN
Cara itu strategi dan strategi itu penting! Jangan pertaruhkan niat dan maksud Sahabat, apapun, tanpa desain cara yang baik. Sebab niat dan maksud yang baik, akan berantakan tanpa langkah, rencana dan cara yang baik juga. Tidak percaya? Coba saja dekati lawan jenis Sahabat, teriak keras-keras dikupingnya kalau Sahabat menyukainya. Tidak perlu sandalnya yang melayang, sumpah-serapahnya saja cukup untuk membuat Sahabat membuang muka. Ya, kecuali Sahabat memang tidak punya muka.
Cara adalah pengertian metode yang sederhana. Tidak sembarang cara tetapi cara yang terkonsep dan terukur. Konsep dan ukuran cara tersebut berguna untuk memastikan tercapainya tujuan dan Keilmiahan penelitian. Sekaligus, berguna untuk merancang cara-cara lain yang lebih baik. Dan makalah ini tidak berkeinginan membicarakan cara (metode) secara terbuka. Sebab percuma berbicara banyak mengenai teori bila Sahabat tidak memiliki sekadar imaji untuk mempraktekkannya. Praktek penelitian langsung akan lebih gamblang memberikan gambaran tentang metode penelitian karena secara teoritik, metode penelitian cukup njelimet pembahasannya. Tetapi marilah kita coba awali memahami metode penelitian yang sangat signifikan fungsinya di era saat ini yang maju karena pesatnya penemuan oleh penelitian-penelitian ilmiah. Setidaknya, saat skripsi, Sahabat tidak canggung bersebadan dengan metode penelitian. Taruhlah saat ini Sahabat belum mengambil SKS MP (Metode Penelitian).
Secara umum, metode penelitian dibagi tiga : Kuantitatif, Kualitatif dan perpaduan diantara keduanya. Metode Kuantitatif sangat bergantung pada kemampuan interaksi kita dengan angka-angka. Bila Sahabat alergi dengan matematika, jangan dekat-dekat  metode ini. Metode Kualitatif adalah metode yang mengesampingkan arti akurasi penelitian yang diatur oleh angka-angka. Metode ini banyak digunakan dalam penelitian non-eksakta (sosial). Kemampuan Sahabat membaca fakta dan menguraikannya dalam kata-kata, sangatlah penting. Adapun metode ketiga, perpaduan antara kuantitatif dan kualitatif adalah metode yang cukup banyak digunakan untuk saat ini. Metode yang memadukan argumen kata-kata dengan angka dan sebaliknya. Bisa dikatakan, hampir semua skripsi mahasiswa Adab bercorak yang nomor dua : kualitatif.
Penelitian kuantitatif sangat dipengaruhi oleh disiplin ilmu eksak yang sempat memainkan pendulumnya secara meyakinkan pada masa modernisasi di Barat abad 19. Kemajuan yang dicapai Barat saat itu menempatkan nalar positivis dan empiris, diatas segala-galanya. Diluar dua hal itu, dinilai tidak dapat diukur, diprediksi dan dikonsep sehingga tidak rasional. Hingga kemudian sekelompok sosiolog dari “Madzhab Chicago” pada tahun 1920-1930 berupaya meyakinkan dunia keilmuan bahwa ekspansi penelitian kuantitatif yang kaku, ketat dan mengandalkan generalisasi harus dikembalikan ke garis teritorialnya yaitu penelitian-penelitian eksakta (deretan ilmu fisika, kimia dan ekonomi). Ilmu sosial tidak bisa menempatkan jiwa manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan seperti halnya fenomena keteraturan dan kepastian dalam ilmu alam. Memakai nalar ilmu alam murni dalam ilmu sosial, jelas mereduksi gejala manusia yang dinamis dan unik. Disinilah menurut mereka, penelitian kualitatif memiliki peran penting.
Pendukung kuantitatif tidak tinggal diam. Kualitatitif ditudingnya tidak ilmiah, subyektif dan bias. Ilmuwan yang setia dengan kuantitatif memandang bahwa hasil penelitian kualitatif sekadar wacana dan kritisisme belaka; bukan teori. Pandangan kualitatif yang postrukturalis dan postpositivis itu, dinilainya sebagai serangan terhadap akal mekanis dan kebenaran absolut serta upaya yang membenarkan versi kebenaran diatas kebenaran yang lain. Pendukung kuantitatif merasa berhak untuk ngamuk-ngamuk karena dengan cara merekalah Eropa bisa mencapai kemajuan tehnologi yang luarbiasa. Tetapi seiring dengan laju waktu dan modernitas menunjukkan banalitas dan vandalitas produknya, dehumanisasi merebak membuncahkan keresahan. Ternyata, deretan angka dan kemewahan gugusan material, membuat manusia kering dan hampa. Maka tampillah metode penelitian kualitatif tanpa ragu mensejajarkan diri bahkan melampaui kuantitatif untuk merecah kembali fenomena kehidupan dengan imajinasi yang menukik dan kata-kata yang menghunjam. Lahirlah hermeneutik, semiotik, Marxisme, feminisme, dekonstruksi, fenomenologi, etnomenologi dan lain seterusnya. Inilah era postmodernisme-postrukturalisme.

  1. GAMBAR DITUTUP
Albion memiliki kemungkinan lebih besar berhasil menjelajahi hutan itu. Alat-alat yang ia bawa dan persiapan lainnya, mestilah alat-alat yang akrab dan dikuasainya. Jibran, mungkin berhasil tetapi mungkin juga tidak. Jibran, dalam kacamata ilmiah, adalah sesuatu yang sulit dibaca dan diukur. Jibran tidak layak diikuti jejaknya. Andai ia berhasil sekalipun.
Sepertinya Sahabat merasa bahwa bentuk cara dalam penelitian adalah keharusan. Bagi penulis cara (metode), kualitatif sekalipun, tak ubahnya rejim yang harus ditaati. Jika tidak, penelitian Sahabat jelas tidak ilmiah dan akademis. Jika tidak, Sahabat cuma dianggap penulis fiksi dan rumor. Tetapi kemampuan kita menguasai metode penelitian adalah keniscayaan sebab dunia pendidikan, sosial, budaya dan politik saat ini memberi tempat yang layak bagi yang berpenampilan metodis. Lagi-lagi, jika tidak, Sahabat tidak akan bisa berbuat banyak. Kenapa? Karena apa yang kita lakukakan dianggap tidak jelas dan tidak memiliki masa depan. Belum percaya? Simak keluhan Sofyan Effendi, Rektor (mantan) UGM pada tahun 2004 silam bahwa tidak ada satupun universitas di Indonesia yang reputasinya tembus level Asia saat ini. Apa pasal? Perguruan Tinggi di Indonesia telah kehilangan tradisi penelitiannya. Dulu orang Malaysia Belajar di Indonesia, sekarang sebaliknya. Begitulah…#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar