Sabtu, 18 Mei 2013

SEJARAH AGAMA DAN FILSAFAT BARAT ERA KLASIK (YUNANI KUNO HINGGA ABAD PERTENGAHAN)



 Oleh Syukron Affani 2008
A.    Pendahuluan



Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Menurut Ikrimah berdasarkan pendapat Ibn Abbas, ayat di atas memiliki pengertian bahwa menghadap Allah dapat dilakukan baik ke arah barat atau arah timur. Hampir semua pendapat ulama berkesimpulan bahwa ayat di atas tentang konsep qiblat sholat. Muslim, Tirmidzi, dan Nasa'i meriwayatkan hadis dari Ibn Umar yang menjelaskan Ia sholat dalam suatu perjalanan menghadap ke arah yang tidak menentu. Hal itu menurut Ibn Umar juga pernah dilakukan Rasulullah.[1]
Teks Quran di atas tentu saja eman cuma dilewatkan sebagai ayat tentang kiblat semata. Ayat itu layak dibicarakan tidak saja di ruang pembahasan ibadah tetapi juga sangat relevan dibicarakan dalam konteks pergulatan sejarah peradaban manusia yang terpolarisasi dalam dua konsep ruang kebudayaan: Barat dan Timur. Dua garis batas itu tak henti-hentinya saling berdesah dengan peluh ketegangan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Repotnya, yang satu penuh birahi menghegemoni dan yang satu tak bisa lepas dari dominasi. Barangkali berbagai upaya dilakukan untuk merealisasikan kesadaran kosmik bahwa tidak ada apa yang dimaksud dengan Barat dan Timur, tetapi yang ada adalah satu dunia. Atau paling tidak, banyak upaya ditempuh untuk mendialogkan, mempertemukan, mempersamakan persepsi, atau istilah lainnya yang semaksud, tetapi hasil akhir yang terjadi tetap merupakan hal yang sama: dominasi dan hegemoni Barat.[2] Meskipun hal itu terjadi dalam bentuk ekspansi yang berbeda dan tidak disadari, seperti dalam bentuk nilai-nilai formil Barat mengenai demokrasi yang ternyata boros biaya dan menguras energi.
Namun tulisan ini tidak untuk membahas secara lebih lanjut mengenai ketegangan kebudayaan antara Barat dan Timur. Tulisan ini hendak fokus membicarakan sejarah agama dan filsafat di Barat era Yunani-Romawi klasik hingga abad pertengahan yang ternyata telah mengasali riwayat Barat dan Timur. Tokoh-tokoh Yunani dan Romawi klasik telah dengan bangga berupaya menunjukkan keunggulan kebudayaan Yunani-Romawi dari bangsa-bangsa yang lain.[3] 
Selengkapnya ka'dintoh. Untuk mantranya: norkuys (dibalik).   


[1]Ibn Katsir, Noble Quran With Tafseer v.4.0  www.islamsprit.com
[2] Barangkali lebih tepat bila Yahudi, Kristen, dan Islam disebut muncul dan tumbuh dari kebudayaan Timur (Timur Dekat) meskipun kemudian terutama Kristen dapat berkembang di Barat sehingga banyak yang menilai peradaban Barat berdiri di atas nilai-nilai Judeo-Cristiano. Tetapi Harold A. Titus dkk dalam bukunya Persoalan-persoalan Filsafat, terj. HM. Rasjidi, (Bulan Bintang:Jakarta, 1984), hlm. 421&44 membuat kategori bahwa agama universal dari Barat adalah Yahudi, Kristen, dan Islam. Sedangkan agama Timur adalah Hindu dan Budha. Kategori tersebut juga terdapat pada Joseph Ruzo dan sepertinya sudah menjadi semacam consensus, Joseph Runzo, A Short Introduction Global Philosophy of Religion, (Oneworld:Oxford, 2001), hlm. 24
[3] Edward W. Said, Orientalisme, (Pustaka:Bandung, 1994), hlm. 74

Rabu, 15 Mei 2013

PROGRESIFITAS PEMIKIRAN MUHAMMAD SHAHRUR (TELAAH PEMIKIRAN TAFSIR AL-QURAN)



Oleh: Syukron Affani 2009

Mohammad Shahrur
A.    Pendahuluan
Mohammad Shahrur[1] meretas jalan menuju kesarjanaan popular muslim arus liberal melalui magnum opus-nya yang berjudul al-Kitāb wa al-Quran: Qiraah Muāshirah yang diterbitkan pada tahun 1990. Karya Shahrur perdana di bidang kajian keislaman ini membuka perbincangan yang hangat di dunia muslim karena ide-ide yang dilontarkannya sangat tidak biasa. Melalui latarbelakang pendidikan di bidang ilmu eksakta, Dr. (Engineering) Mohammad Shahrur turut "campur" menawarkan pembacaan tema-tema al-Quran dan wacana keislaman yang kontroversial. Ide-idenya tentang konsep al-Quran, umm al-kitab, al-Nubuwwah, al-risalah, muhkam-mutasyabih, dan lain semacamnya, menghadirkan surprise. Tetapi ada juga, seperti Nasr Hamid Abu Zayd, yang menilainya biasa-biasa saja (dalam konteks keragaman wacana di era free market of ideas seperti saat ini). Bahkan Nasr Hamid Abu Zayd, salah seorang garda depan liberasi pemikiran Islam, keberatan dengan metode “obrak-obrik” a la Shahrur.[2]
Shahrur menegaskan bahwa karyanya al-Kitāb wa al-Quran: Qiraah Muāshirah,[3] yang disusun dibawah supervisi pakar bahasa Dr. Ja’far Dakk al-Dāb, bukanlah literatur tafsir atau literatur hukum Islam karena ia memaksudkan karyanya memang hanya sebagai literatur kritik kontemporer terhadap al-Quran.[4] Semacam, kritik epistimologis-hermeneutis. Meski demikian, ia tidak bermaksud membuat orang percaya terhadap sesuatu atau tidak. Ia memasrahkan segala sesuatunya pada pembaca. Ia sendiri percaya melalui langkah kritik hermeneutik (hermeneutical critic), pemikiran keislaman memiliki corak dan manfaat kemanusiaan yang lebih jelas, baik bagi mereka yang beriman atau mereka yang tidak beragama. [5] Tetapi keunikan (bagi penentangnya, keanehan) cara pandang Shahrur dalam memahami al-Quran, menempatkannya dijajaran pembaharu penafsiran al-Quran sekaligus pembaharu konstruksi hukum Islam.
Tulisan ringkas ini akan membahas tema muhkamāt dan mutasyābihāt yang digagas Shahrur. Tema ini cukup sentral untuk memahami bangunan penafsiran al-Quran dari Shahrur. Dari tema tersebut, penulis melihat ada keterkaitan erat pemikiran Shahrur dengan urgensitas ilmu pengetahuan dan tehnologi. Untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai fokus perhatian Shahrur, penulis juga membahas masalah khilafah Islamiyah dan respon Shahrur terhadap persoalan-persoalan politik.
Dalam teori Shahrur, hubungan antara ayat mutasyabihat dengan al-rasikhuuna fi al-ilm adalah (yang paling mungkin) hubungan antara ilmuan dengan ilmu pengetahuan dan tehnologi, melebihi hubungan ahli agama dengan ilmu fikih. Shahrur juga mempercayai demokrasi dan konsep nation-state (negara-bangsa) yang mengusung lokalitas sistem sosial-budaya dan geografis sebagai kehendak jaman daripada, misal khilafah Islamiyah yang lintas batas sosial-budaya dan geografis. Selengkapnya e ka'dintoh. Untuk mantranya: n o r k u y s (dibalik).


[1] Lahir tahun 1938. Selesai sekolah menengah atas, Shahrur belajar engineering di Moskow Rusia. Tahun 1964 pulang kembali ke Syria. Pada tahun 1968 ia pergi ke Dublin Irlandia untuk meneruskan studinya di jenjang master dan doktor bidang struktur mekanika tanah dan pondasi. Sejak tahun 1977 ia menjadi pengajar di Universitas Damaskus Syria dan kini telah pension dengan 4 orang anak laki-laki dan perempuan. Karya-karyanya adalah al-Kitab wa al-Quran (1990), Dirasah al-Islamiyah Mu`ashirah fi al-Dawlah wa al-Mujtama` (1994), al-Islam wa al-Iman (1996), Masyru’ mitsaq al-`amal al-Islamiy (1999), dan  Nahwa Ushul al-Jadidah li al-Fiqh al-Islamiy (2000). Arikel karya Shahrur banyak bertebaran majalah-majalah dan jurnal. Shahrur memulai penelitian terhadap al-Quran pada tahun 1970. Baru pada tahun 1982, ia menemukan perbedaan konsep antara istilah al-Kitab dan al-Quran. Abdul Mustaqim, Mempertimbangkan Metodologi Tafsir Muhammad Shahrur, dalam Sahiron Syamsuddin dkk., Hermeneutika al-Quran Mazhab Yogya, (Islamika:Yogyartarta, 2003), hlm.123-124. Karya terbaru Shahrur adalah Tajfīf Manābi` al-Irhāb (2008) setebal 300 halaman yang merupakan respon Shahrur terhadap fenomena terorisme dengan kedok agama. Lebih mengenal mengenai biografi Shahrur, browse di http://www.shahrour.org/. tanggal 8 Nov 2008 10:01:49 GMT
[2] Nirwan Syafrin, Konstruk Epistimologi Islam: Telaah Bidang Fiqh dan Ushul Fiih, dalam Jurnal Islamia, Thn II No. 5, April-Juni 2005 (Jakarta: Insists-Khairul Bayan).
[3] Beberapa negara Timur Tengah seperti Mesir, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Saudi Arabia resmi melarang peradaran buku Shahrur ini. Tetapi ada juga seperti Sultan Qaboos dari Oman yang justru membagi-bagikan buku tersebut. Dale F. Eickelmen, Islamic Liberalism Strikes Back, sebagaimana dikutip Sahiron Syamsuddin, “The Quran in Syria: Muhammad Shahrur’s Inner-Quranic Exegetical Method”, dalam Khaleel Mohammed& Andrew Rippin, Coming to Term with The Quran, (New Jersey:Islamic Publication International, 2008), hlm. 267
[4] Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Quran: Qiraah Muashirah, (al-Ahalli li at-Tiba'ah wa al-Nasr wa al-Tawzi:Damsyiq, 2000), cet. XI, hlm.45
[5] Ibid.