Jumat, 31 Januari 2014

SEJARAH TAFSIR AL-QURAN III: PERIODEISASI MENURUT BEBERAPA TOKOH


Oleh Syukron Affani














Guna mendapatkan pemahaman yang lebih luas terhadap peta perkembangan tafsir al-Quran, baik dari perspektif historis-kronologis ataupun coraknya, akan diulas secara umum pandangan beberapa tokoh ilmu al-Quran berikut:[1]
1.    Muhammad Husein al-Dzahabi
Al-Dzahabi (1915-1977 M) membagi perkembangan tafsir ke dalam empat fase:
a. Fase awal (al-marhalah al-ûla): jaman Rasulullah dan para sahabat
b.     Fase kedua (al-marhalah al-tsâniyah): Jaman tabiin
c.      Fase ketiga (al-marhalah al-tsâlitsah): jaman pembukuan (`ushûr al-tadwîn) yang dimulai pada akhir dinasti Umayyah dan awal-awal dinasti Abbasiah. Al-Dzahabi membahas masa ini berakhir saat memasuki pembahasan masa keempat.[2]
d.     Terakhir: jaman modern. Ia menyebut jaman ini dengan jaman kebangkitan sains modern (‘ashr al-nahdhah al-ilmiyah al-hadîtsah) kira-kira pada paruh akhir abad ke-19.[3]
Di lain kesempatan al-Dzahabi hanya membagi perkembangan tafsir hanya ke dalam tiga episode: pertama, masa nabi dan sahabat; kedua, masa tabiin; ketiga, masa pasca tabiin atau masa sejak pembukuan kitab tafsir hingga saat ini.[4]
2.    Ignaz Goldziher
Nama orientalis Hungaria ini ditampilkan karena melalui karyanya Richtungen der Islamischen Koranauslegung (1920) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul al-Madzâhib al-Islâmiyah fi al-Tafsîr, telah mengingatkan dan menyadarkan sarjana muslim kepada tabaqât al-mufassirîn karya al-Sayuthi sebagai satu-satunya karya awal penting tentang sejarah penafsiran al-Quran.[5] Goldziher menyadarkan sarjana muslim untuk memberikan perhatian terhadap sejarah tafsir al-Quran melalui karyanya tersebut yang akan sangat berguna bagi studi al-Quran.
Goldziher memetakan perkembangan tafsir al-Quran ke dalam lima aliran (richtungen-Jerman), yaitu:[6]
a.   Tafsir bi al-ma’tsûr: tafsir berdasar keterangan Nabi dan sahabat
b.   Tafsir fi dhaw’i al-aqîdah: tafsir teologis-dogmatis
c.    Tafsir fi dhaw’i al-tasawwuf: tafsir mistik
d.   Tafsir fi dhaw’i al-firâq madzhabiy: tafsir hukum sektarian
e.  Tafsir fi dhaw’i al-tamaddun al-hadîtsiy al-Islâmiy: tafsir perspektif peradaban Islam modern
3.    Abdullah Saeed
Sarjana muslim dari Universitas Merlbourne Australia ini memberikan gambaran pembabakan tafsir al-Quran ke dalam dua kluster, yaitu:[7]
a.     Masa Klasik (early period)
Pada masa ini ada banyak varian tafsir (Quranic exegesis), yaitu tafsir sunni (sunniy exegesis), tafsir syi`ah (shi’iy exegesis), tafsir kharijiy (kharijiy exegesis), tafsir teologis (theological exegesis), tafsir hukum (legal exegesis), tafsir sufi (mystical exegesis), dan tafsir falsafi (philoshopical exegesis)
b.     Masa Modern (modern period)
Pada periode ini, Saeed menyebut: tafsir modernis (modernist exegesis), tafsir ilmiah (scientific exegesis), tafsir sosio-politik (socio-political exegesis), tafsir tematik (thematic exegesis), dan tafsir kontekstual (contextualist exegesis).


[1] Deskripsi ini diadaptasi dari deskripsi Abdul Mustaqim dalam Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Quran Periode Klasik hingga Kontemporer, Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003, hlm. 26
[2] Al-Dzahabi tidak terang menyebutnya masa keempat namun menyebutnya: ‘terakhir’ (al-khâtimah). Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz II, Kairo: Maktabah Wahbah, 2000, hlm. 363
[3] Al-Dzahabi tidak menyebut jelas kapan masa ini ditandai dengan tahun namun kita dapat menilik dari mufassir dan tafsir yang ditunjukkannya untuk periode ini, seperti Muhammad bin Ahmad al-Iskandari dengan tafsirnya yang berjudul: Kasyf al-Asrâr al-Nûrâniyah al-Qurâniyah, yang dicetak tahun 1297 H (kira-kira 1880 M) atau Thanthawi Jauhari (1287-1940) melalui Tafsir al-Jawâhir-nya. Lihat Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Juz II.., hlm. 365 dan 370
[4] Muhammad Husein al-Dzahabi, Ilmu al-Tafsir, Kairo: Dar al-Ma`arif, tth, hlm. 13
[5] J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Quran, terj. Hairussalim dan Syarif Hidayatullah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997, hlm. 8. J.M.S Baljon, penerus Goldziher yang berusaha melengkapi karya Goldziher di antaranya melalui karya-karya bahasa Urdu penafsiran al-Quran modern dari tanah Hindustani (India-Pakistan), juga menyampaikan sedikitnya informasi yang dikembangkan oleh sarjana muslim tentang tafsir al-Quran. J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern, terj. A. Niamullah Muiz, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991, hlm. viii
[6] J.J.G. Jansen, Diskursus Tafsir al-Quran…, hlm. 9 dan Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Quran Periode Klasik hingga Kontemporer, Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003, hlm. 27
[7] Abdullah Saeed, The Qur`an: An Introduction, London-New York: Routledge, 2008, hlm. 194-214

SEJARAH TAFSIR AL-QURAN II: PERIODEISASI TAFSIR


Oleh Syukron Affani

Periodeisasi Penafsiran
(Marâhil al-Tafsîr)

Secara umum periodeisasi tafsir al-Quran dibagi ke dalam 3 (tiga) kluster: klasik, pertengahan, dan kontemporer. Pembabakan tafsir ke dalam tiga kluster ini memudahkan dan untuk sementara memadai.[1] Memudahkan karena sederhana dalam menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan tafsir meskipun sesungguhnya waktu dan realitas tidak sesederhana pembagian awal, tengah, dan akhir. Namun untuk sementara memadai sebagai bahan kajian awal.
Pada tahapan lebih lanjut, pembabakan tersebut memerlukan pemikiran kembali mengingat apa yang disebut dengan babakan kontemporer dapat memanjang mengiringi ‘kekinian’. Tanda waktu yang kita sebut ‘saat ini’ atau ‘sekarang’ dan mulai kita beri tanda dengan istilah ‘kontemporer’ akan segera lampau dan tidak kontemporer lagi. Akumulasi “sekarang” yang melampau ini akan kita kategorikan ke dalam kelompok waktu pertengahan atau tetap kita rangkul dalam kekontemporeran? Problem nomenklatur akan mewarnai penandaan-penamaan bagi klasifikasi sejarah perkembangan tafsir al-Quran berikutnya.[2]
Oleh karena itu, beberapa pakar sejarah tafsir al-Quran menggunakan pendekatan historis-periodik sekaligus pendekatan filosofis konseptual dalam menguraikan perkembangan tafsir. Pendekatan historis-periodik efektif menggambarkan fenomena perkembangan tafsir masa awal dan pertengahan. Sedangkan pemetaan fenomena dunia tafsir al-Quran di era kontemporer lebih tepat diurai dengan pendekatan corak konseptual. Di era kontemporer ini, seluruh corak tafsir baik dari masa awal dan pertengahan memuara: hadir dan eksis bersama-sama di gelanggang panggung ilmu keislaman kontemporer. Berakhirnya masa tafsir awal dan pertengahan, tidak menandakan berakhirnya corak tafsir yang muncul di masa-masa itu. Bersama model-model tafsir terkini, corak dan model tafsir awal dan pertengahan masing-masing mendapatkan segmen pembacanya.
Dengan menggunakan dua pendekatan sekaligus: pendekatan historis kronologis dan pendekatan orientasi metode-konseptual, perkembangan sejarah dan kecenderungan tafsir al-Quran dapat digambarkan lebih komprehensif.


[1] Sejarah peradaban Islam sendiri, sebagaimana dilansir Harun Nasution, dibagi tiga: Klasik (650-1250 M), Pertengahan (1250-1800 M), dan Modern (sejak 1800 M). Periode klasik dibagi dua: pertama, dari 650-1000 M dengan pertumbuhan dan perkembangan peradaban dan kedua, 1000-1250 disebut jaman disintegrasi saat kekuasaan daulah Abbasiah melemah dan berdiri banyak kerajaan kecil. Periode pertengahn juga dibagi tiga; pertama, 1250-1500 M yang disebut jaman kemunduran ditandai dengan serangan Jengis Khan dan keturunannya. Pada 1941 M, kekuasaan muslim di Granada jatuh dan pada 1609 M, Islam lenyap dari tanah Andalusia. Kedua, 1500-1700 M yang dapat disebut masa kejayaan Islam ke II yang diwakili oleh  Turki Utsmani, Safawi, dan Moghul. Ketiga, 1700-1800, kemunduran ketiga kerajaan tersebut yang akhirnya ditandai pendudukan Napoleon Bonaparte ke Mesir. Lihat Akhmad Taufik dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Jakarta: RajaGrafindo, 2005, hlm. 5-8
[2] Karena itu, ‘kini’ yang lampau disebut modern. Sedangkan ‘kini’ yang bergerak terus maju bersama waktu disebut kontemporer (mu`âshirah). Persoalannya, kata ‘modern’ (hadatsah) sendiri tidak pasti kapan penggalan waktunya dan harus mengikuti momen di wilayah yang mana. Namun, untuk konteks keilmuan Islam, bila memang harus menandainya dapat saja merujuk pada fenomena sosio-kultur dan pemikiran kebangkitan Arab. Kenapa Arab, karena perkembangan keilmuan keislaman mendapat pengaruh sangat besar dari kawasan tersebut. Sejarah modern Arab dimulai pada tahun 1789 M (sebagaimana teori Albert Hourani) saat Napoleon Bonaparte menginvasi Mesir (kala kemunduran Turki Utsmani) dan membawa konsep perubahan ke dalam tatanan masyarakat Mesir yang kemudian menyebar ke berbagai kawasan muslim lainnya. Pada saat itu kekuatan dan kekuasaan Turki Utsmani melemah. Kekuatan kolonial Prancis, Inggris, Austria, Rusia dan negara Barat lainnya mengambil alih pengelolaan kawasan-kawasan ‘sakit’ wilayah Turki Utsmani. Sentimen perubahan umat Islam digerakkan oleh Jamaludin al-Afghani (1839-1897 M) dan Muhammad Abduh (1849-1905) melalui slogan Pan-Islam. Albert Hourani, menurut Luthfie Assyaukanie, meyakini bahwa sejarah kebangkitan Arab bukan dari mulai dari pembaruan administrasi Utsmaniyah pada 1789 M ataupula gerakan puritanisme Muhammad Ibn Wahhab (1701-1793 M) dari Nejd sebagaimana sinyalemen Philip K. Hitti. Sedangkan masa kontemporer dianggap oleh sebagian pemikir Arab bermula sejak kekalahan negara-negara Arab dari Israel pada tahun 1967. Lihat A.Luthfie Assyaukanie, Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer, Jurnal Paramadina Vol. 1 No.1 Juli-Desember, hlm. 61 dan Luthfie Assyaukanie dalam pengantar buku Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, terj. Suparno dkk, Bandung: Mizan, 2004, hlm. Xvii. Juga lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi, 2006, hlm. 915 dan 948