Minggu, 29 September 2013

SKEMA RINGKAS KAJIAN ILMU HADITS

Oleh Syukron Affani

Berdasarkan kitab Taysir al-Mushthalah al-Hadits karya Mahmud Thahhan, saya dapat membuat skematika kajian ilmu hadits secara garis besar. Skema kajian ilmu hadits ini dibuat untuk mempermudah mempelajari ilmu hadits mengingat terdapat beberapa aspek yang akan dapat dipahami secara lebih mudah bila memahami outline dari kajian hadits.
Skema ringkas kajian ilmu hadits tersebut dapat diakses di sini

TANTANGAN PENERAPAN HAK ASASI MANUSIA BAGI MASYARAKAT MUSLIM (KEBEBASAN BERAGAMA DAN POSISI PEREMPUAN)

Oleh Syukron Affani
Tidak mudah membicarakan HAM dan isu-isunya di tengah-tengah kecurigaan ideologis. Harus diakui bahwa sebagian umat Islam memilih bersyak-wasangka, minimal acuh tak acuh, ketika berhadapan dengan wacana HAM bahkan mungkin sekalipun saat mereka  membutuhkan pembelaan atas hak-hak kemanusiaannya. 


Bagi sebagian penggiat HAM, perbincangan mengenai kontroversi ideologis dan epistemologis HAM Universal sudah tidak relevan lagi mengingat advokasi dan perlindungan HAM secara kongkrit merupakan isu yang mendesak dan memerlukan aksi segera. Tidak relevan karena hilir dari perdebatan epistemologis HAM terutama bagi kelompok beragama adalah sentimen politik dan agama. Sementara kemanusiaan tidak mengenal sentimen lain kecuali sentimen kemanusiaan itu sendiri.
Bersama tulisan-tulisan lain dari beberapa dosen peserta pelatihan HAM dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, ada beberapa dimensi yang saya bahas terkait dengan persoalan ini dalam tulisan saya pada halaman 417 dalam buku TO PROMOTE: MEMBACA PERKEMBANGAN WACANA HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA yang diterbitkan oleh PUSHAM UII Yogyakarta-NCHR University of Oslo Norwegia.
File dari buku tersebut dapat diakses di sini.


Minggu, 01 September 2013

ADABIY-IJTIMAIY DAN ADABIY-BAYANIY

Oleh Syukron Affani
Dalam kajian ilmu tafsir corak tafsir kontemporer yang banyak disebut-sebut adalah adabiy-ijtima'iy. Di tanah air, corak ini terkenal, salah satunya melalui tulisan-tulisan Quraish Shihab. Melalui karya tafsir mufassir Indonesia ini yang berjudul al-Mishbah dan kumpulan tulisan topikal dalam bukunya Membumikan al-Quran dan Wawasan al-Quran, kita dapat memahami bentuk dari corak tafsir yang disebut adabiy-ijtima'iy.
Secara historis, beberapa pandangan menghubungkan corak adabiy-ijtimaiy dengan Muhammad Abduh dan murid-muridnya, seperti Rasyid Ridha dan Musthofa al-Maraghi. Meskipun sebenarnya, bila dilacak ke periode lebih awal, dapat dihubungkan dengan mufassir-mufassir lebih tua akan tetapi karena kemunculan istilah tersebut di masa kontemporer maka penandaannya dikembalikan kepada tokoh di era ini juga.
Secara umum, penamaan terhadap kecenderungan tafsir yang berorientasi pada problem penyelesaian masalah kemasyarakatan dengan istilah adabiy-ijtimaiy, cocok-cocok saja. Namun bila Muhammad Abduh turut disebut terkait dengan corak ini, ada sesuatu yang harus dipahami terlebih dahulu. Kenapa? karena Abduh cenderung "apatis" terhadap pendekatan linguistik (lughawiy) dalam menafsirkan al-Quran. Abduh cukup sinis terhadap tafsir yang repot dengan "olah kata dan struktur kalimat" yang bersifat strukturalisme tekstual. Pendekatan lughawiy bagi Abduh tidak lebih dari latihan kebahasaan terhadap al-Quran. Abduh menyarankan, sebagaimana terekam dalam banyak pendapat Abduh yang dikutip oleh Muhammad Ahmad Khalafullah dalam al-Fann al-Qashashi fi al-Quran al-Karim, pendekatan sastra dalam memahami al-Quran.
Dengan pendekatan sastrawi, bagi Abduh sangat memungkinkan bagi penikmat al-Quran untuk dapat memahami kesatuan struktural-konseptual dan kontekstual dalam al-Quran. Sehingga kita umat Islam dapat mengupayakan apa yang disebutnya al-ihtida' li al-Quran: menjaring hidayah al-Quran untuk keperluan kebangkitan peradaban Islam. Bukannya Abduh  tidak peduli terhadap aspek lingual al-Quran, tetapi baginya al-Quran lebih dari sekedar fenomena kebahasaan biasa. Kebutuhan mendapatkan "air" makna implementatif lebih penting daripada "timba-timba" instrumental. Hal ini memungkinkan bila bahasa al-Quran didekati dengan prinsip sastra yang afektif daripada prinsip linguistik yang kognitif. Abduh mengapresiasi akrobat lingual al-Zamakhsyari dengan al-Kasysyaf-nya dan untuk sementara, itu cukup untuk menunjukkan estetika tekstual al-Quran. Yang terpenting saat ini, bagi Abduh, tafsir al-Quran harus berorientasi pada hajat al-ashr: problem peradaban umat Islam.
Ada nama lain yang harus ditekankan dengan kehadiran istilah adabiy-ijtimaiy, yaitu Amin al-Khuli. Tokoh ini dinilai oleh pengamat tafsir al-Quran, memberi pondasi unik pada tradisi tafsir filologis yang merentang sejak era pertengahan hingga saat ini. Amin al-Khuli, pakar sastra Arab memperkuat pandangan Abduh meskipun ia tidak terlalu setuju untuk mengabaikan pendekatan linguistik.
Karena, makna sastrawi al-Quran, bagi al-Khuli, hanya bisa didapat melalui perspektif tekstual al-Quran. Momentum pesan al-Quran hanya eksplosif bila dipahami dalam bingkai filologisnya. Artinya, langsung merangsek masuk ke dalam makna-makna al-Quran tanpa meneliti petunjuk-petunjuk tekstualnya, justru mereduksi kedahsyaratan pesan-pesan sastrawi al-Quran. Bagi Amin al-Khuli, hajat al-Quran secara lingual harus dipenuhi dulu sebelum beranjak pada hajat al-ashr.
Pada posisi ini, Abduh dan Amin al-Khuli nampak sedikit berbeda. Pendekatan adabiy Abduh berorientasi pragmatis sedangkan pendekatan adabiy Amin al-Khuli lebih akademis. Abduh merupakan seorang tokoh yang banyak bersinggungan dengan persoalan kemasyarakatan terutama dalam posisi di akhir karirnya sebagai mufti Mesir sedangkan Amin al-Khuli merupakan akademisi tulen. Tidak heran bila meskipun sama-sama sepakat dengan pendekatan sastrawi terhadap al-Quran, aplikasi pemikiran dari dua pemikiran tokoh tersebut dapat berbeda. Tafsir Abduh lebih sosiologis (ijtimaiy) sedangkan implementasi tafsir Amin al-Khuli, sebagaimana dalam al-Tafsir al-Bayani li al-Quran Karim karya Bint Syathi', lebih literal. Abduh banyak membicarakan isu-isu aktual kemasyarakatan sedangkan aplikasi tafsir Amin al-Khuli lebih formal-tekstual.  Wallahu a'lam...
Pamekasan, 02 September 2013

Senin, 03 Juni 2013

HASYIM ASY'ARI: THE GRAND KIAI
Oleh Syukron Affani











"Sang Kiai" itulah film produksi RAPI Film yang produsernya seorang Hindu. Tentang profil dan perjuangan ikon Nahdlatul Ulama (NU), Hadratussyeikh Hasyim Asyari. Penasaran sekali dengan film ini. Bukan karena semata semacam untuk membandingkannya dengan "Sang Pencerah"nya Kiai Dahlan.

Sejak mangkatnya Gus Dur, NU dan pesantren seperti terlempar dan tenggelam dari percaturan wacana nasional. Hasyim Muzadi dengan suara kritisnya dan terlihat antusias menepi ke garis bagian kanan, tidak memiliki cukup tenaga untuk menghadirkan NU dan pesantren kembali ke "tengah" wacana nasional. Said Aqil Siradj, terkesan tidak cerdas dan naif meskipun ide-idenya berupaya mengikuti jejak spirit Gus Dur. Kasarnya, NU dan pesantren kehilangan panggung selebrasi eksistensinya.

Kevakuman eksistensial ini menjadi parah karena kaum nahdliyin terjerembab ke dalam kubang pekat politik dan gagal mengartikulasikan masalahnya. Perselisihan karena faktor fikroh diyakini sebagai daya tambah kerahmatan namun bila perselisihan karena politik, obatnya hanya kedewasaan. Dan bagi orang pesantren hal ini masih menjadi pelajaran yang sulit dan seringkali ditinggalkan.

Secara finansial, ini bukan main-main dan seharusnya produsen mengerti betul anatomi sosiologis nahdliyin. RAPI film bisa menangguk keuntungan besar dari proyek film bioepiknya ini. Bayangkan bila "Sang Kiai" juga diputar secara "layar tancap" di jaringan pesantren NU yang ribuan jumlahnya dan taruhlah; dengan biaya tertentu yang terjangkau untuk itu; dengan "fatwa" wajib tonton dari para kiai pemangku-pemangku pesantren. Berduyun-duyun, pasti akan menjadi top word di Google.

Wallahu a'lam, akan tetapi semoga "Sang Kiai" dapat mengembalikan "Santri-santri" mengingat sesuatu yang maha penting: kembali pulang dari political society yang menjebak; kembali pulang untuk mencerdaskan masyarakat dan menjadikannya sebagai civil society yang efektif sebagaimana para kiai-kiai panutan dahulu. Allahumma....

Sabtu, 18 Mei 2013

SEJARAH AGAMA DAN FILSAFAT BARAT ERA KLASIK (YUNANI KUNO HINGGA ABAD PERTENGAHAN)



 Oleh Syukron Affani 2008
A.    Pendahuluan



Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Menurut Ikrimah berdasarkan pendapat Ibn Abbas, ayat di atas memiliki pengertian bahwa menghadap Allah dapat dilakukan baik ke arah barat atau arah timur. Hampir semua pendapat ulama berkesimpulan bahwa ayat di atas tentang konsep qiblat sholat. Muslim, Tirmidzi, dan Nasa'i meriwayatkan hadis dari Ibn Umar yang menjelaskan Ia sholat dalam suatu perjalanan menghadap ke arah yang tidak menentu. Hal itu menurut Ibn Umar juga pernah dilakukan Rasulullah.[1]
Teks Quran di atas tentu saja eman cuma dilewatkan sebagai ayat tentang kiblat semata. Ayat itu layak dibicarakan tidak saja di ruang pembahasan ibadah tetapi juga sangat relevan dibicarakan dalam konteks pergulatan sejarah peradaban manusia yang terpolarisasi dalam dua konsep ruang kebudayaan: Barat dan Timur. Dua garis batas itu tak henti-hentinya saling berdesah dengan peluh ketegangan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Repotnya, yang satu penuh birahi menghegemoni dan yang satu tak bisa lepas dari dominasi. Barangkali berbagai upaya dilakukan untuk merealisasikan kesadaran kosmik bahwa tidak ada apa yang dimaksud dengan Barat dan Timur, tetapi yang ada adalah satu dunia. Atau paling tidak, banyak upaya ditempuh untuk mendialogkan, mempertemukan, mempersamakan persepsi, atau istilah lainnya yang semaksud, tetapi hasil akhir yang terjadi tetap merupakan hal yang sama: dominasi dan hegemoni Barat.[2] Meskipun hal itu terjadi dalam bentuk ekspansi yang berbeda dan tidak disadari, seperti dalam bentuk nilai-nilai formil Barat mengenai demokrasi yang ternyata boros biaya dan menguras energi.
Namun tulisan ini tidak untuk membahas secara lebih lanjut mengenai ketegangan kebudayaan antara Barat dan Timur. Tulisan ini hendak fokus membicarakan sejarah agama dan filsafat di Barat era Yunani-Romawi klasik hingga abad pertengahan yang ternyata telah mengasali riwayat Barat dan Timur. Tokoh-tokoh Yunani dan Romawi klasik telah dengan bangga berupaya menunjukkan keunggulan kebudayaan Yunani-Romawi dari bangsa-bangsa yang lain.[3] 
Selengkapnya ka'dintoh. Untuk mantranya: norkuys (dibalik).   


[1]Ibn Katsir, Noble Quran With Tafseer v.4.0  www.islamsprit.com
[2] Barangkali lebih tepat bila Yahudi, Kristen, dan Islam disebut muncul dan tumbuh dari kebudayaan Timur (Timur Dekat) meskipun kemudian terutama Kristen dapat berkembang di Barat sehingga banyak yang menilai peradaban Barat berdiri di atas nilai-nilai Judeo-Cristiano. Tetapi Harold A. Titus dkk dalam bukunya Persoalan-persoalan Filsafat, terj. HM. Rasjidi, (Bulan Bintang:Jakarta, 1984), hlm. 421&44 membuat kategori bahwa agama universal dari Barat adalah Yahudi, Kristen, dan Islam. Sedangkan agama Timur adalah Hindu dan Budha. Kategori tersebut juga terdapat pada Joseph Ruzo dan sepertinya sudah menjadi semacam consensus, Joseph Runzo, A Short Introduction Global Philosophy of Religion, (Oneworld:Oxford, 2001), hlm. 24
[3] Edward W. Said, Orientalisme, (Pustaka:Bandung, 1994), hlm. 74

Rabu, 15 Mei 2013

PROGRESIFITAS PEMIKIRAN MUHAMMAD SHAHRUR (TELAAH PEMIKIRAN TAFSIR AL-QURAN)



Oleh: Syukron Affani 2009

Mohammad Shahrur
A.    Pendahuluan
Mohammad Shahrur[1] meretas jalan menuju kesarjanaan popular muslim arus liberal melalui magnum opus-nya yang berjudul al-Kitāb wa al-Quran: Qiraah Muāshirah yang diterbitkan pada tahun 1990. Karya Shahrur perdana di bidang kajian keislaman ini membuka perbincangan yang hangat di dunia muslim karena ide-ide yang dilontarkannya sangat tidak biasa. Melalui latarbelakang pendidikan di bidang ilmu eksakta, Dr. (Engineering) Mohammad Shahrur turut "campur" menawarkan pembacaan tema-tema al-Quran dan wacana keislaman yang kontroversial. Ide-idenya tentang konsep al-Quran, umm al-kitab, al-Nubuwwah, al-risalah, muhkam-mutasyabih, dan lain semacamnya, menghadirkan surprise. Tetapi ada juga, seperti Nasr Hamid Abu Zayd, yang menilainya biasa-biasa saja (dalam konteks keragaman wacana di era free market of ideas seperti saat ini). Bahkan Nasr Hamid Abu Zayd, salah seorang garda depan liberasi pemikiran Islam, keberatan dengan metode “obrak-obrik” a la Shahrur.[2]
Shahrur menegaskan bahwa karyanya al-Kitāb wa al-Quran: Qiraah Muāshirah,[3] yang disusun dibawah supervisi pakar bahasa Dr. Ja’far Dakk al-Dāb, bukanlah literatur tafsir atau literatur hukum Islam karena ia memaksudkan karyanya memang hanya sebagai literatur kritik kontemporer terhadap al-Quran.[4] Semacam, kritik epistimologis-hermeneutis. Meski demikian, ia tidak bermaksud membuat orang percaya terhadap sesuatu atau tidak. Ia memasrahkan segala sesuatunya pada pembaca. Ia sendiri percaya melalui langkah kritik hermeneutik (hermeneutical critic), pemikiran keislaman memiliki corak dan manfaat kemanusiaan yang lebih jelas, baik bagi mereka yang beriman atau mereka yang tidak beragama. [5] Tetapi keunikan (bagi penentangnya, keanehan) cara pandang Shahrur dalam memahami al-Quran, menempatkannya dijajaran pembaharu penafsiran al-Quran sekaligus pembaharu konstruksi hukum Islam.
Tulisan ringkas ini akan membahas tema muhkamāt dan mutasyābihāt yang digagas Shahrur. Tema ini cukup sentral untuk memahami bangunan penafsiran al-Quran dari Shahrur. Dari tema tersebut, penulis melihat ada keterkaitan erat pemikiran Shahrur dengan urgensitas ilmu pengetahuan dan tehnologi. Untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif mengenai fokus perhatian Shahrur, penulis juga membahas masalah khilafah Islamiyah dan respon Shahrur terhadap persoalan-persoalan politik.
Dalam teori Shahrur, hubungan antara ayat mutasyabihat dengan al-rasikhuuna fi al-ilm adalah (yang paling mungkin) hubungan antara ilmuan dengan ilmu pengetahuan dan tehnologi, melebihi hubungan ahli agama dengan ilmu fikih. Shahrur juga mempercayai demokrasi dan konsep nation-state (negara-bangsa) yang mengusung lokalitas sistem sosial-budaya dan geografis sebagai kehendak jaman daripada, misal khilafah Islamiyah yang lintas batas sosial-budaya dan geografis. Selengkapnya e ka'dintoh. Untuk mantranya: n o r k u y s (dibalik).


[1] Lahir tahun 1938. Selesai sekolah menengah atas, Shahrur belajar engineering di Moskow Rusia. Tahun 1964 pulang kembali ke Syria. Pada tahun 1968 ia pergi ke Dublin Irlandia untuk meneruskan studinya di jenjang master dan doktor bidang struktur mekanika tanah dan pondasi. Sejak tahun 1977 ia menjadi pengajar di Universitas Damaskus Syria dan kini telah pension dengan 4 orang anak laki-laki dan perempuan. Karya-karyanya adalah al-Kitab wa al-Quran (1990), Dirasah al-Islamiyah Mu`ashirah fi al-Dawlah wa al-Mujtama` (1994), al-Islam wa al-Iman (1996), Masyru’ mitsaq al-`amal al-Islamiy (1999), dan  Nahwa Ushul al-Jadidah li al-Fiqh al-Islamiy (2000). Arikel karya Shahrur banyak bertebaran majalah-majalah dan jurnal. Shahrur memulai penelitian terhadap al-Quran pada tahun 1970. Baru pada tahun 1982, ia menemukan perbedaan konsep antara istilah al-Kitab dan al-Quran. Abdul Mustaqim, Mempertimbangkan Metodologi Tafsir Muhammad Shahrur, dalam Sahiron Syamsuddin dkk., Hermeneutika al-Quran Mazhab Yogya, (Islamika:Yogyartarta, 2003), hlm.123-124. Karya terbaru Shahrur adalah Tajfīf Manābi` al-Irhāb (2008) setebal 300 halaman yang merupakan respon Shahrur terhadap fenomena terorisme dengan kedok agama. Lebih mengenal mengenai biografi Shahrur, browse di http://www.shahrour.org/. tanggal 8 Nov 2008 10:01:49 GMT
[2] Nirwan Syafrin, Konstruk Epistimologi Islam: Telaah Bidang Fiqh dan Ushul Fiih, dalam Jurnal Islamia, Thn II No. 5, April-Juni 2005 (Jakarta: Insists-Khairul Bayan).
[3] Beberapa negara Timur Tengah seperti Mesir, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Saudi Arabia resmi melarang peradaran buku Shahrur ini. Tetapi ada juga seperti Sultan Qaboos dari Oman yang justru membagi-bagikan buku tersebut. Dale F. Eickelmen, Islamic Liberalism Strikes Back, sebagaimana dikutip Sahiron Syamsuddin, “The Quran in Syria: Muhammad Shahrur’s Inner-Quranic Exegetical Method”, dalam Khaleel Mohammed& Andrew Rippin, Coming to Term with The Quran, (New Jersey:Islamic Publication International, 2008), hlm. 267
[4] Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Quran: Qiraah Muashirah, (al-Ahalli li at-Tiba'ah wa al-Nasr wa al-Tawzi:Damsyiq, 2000), cet. XI, hlm.45
[5] Ibid.