Oleh Syukron Affani
Dalam kajian ilmu tafsir corak tafsir kontemporer yang banyak disebut-sebut adalah adabiy-ijtima'iy. Di tanah air, corak ini terkenal, salah satunya melalui tulisan-tulisan Quraish Shihab. Melalui karya tafsir mufassir Indonesia ini yang berjudul al-Mishbah dan kumpulan tulisan topikal dalam bukunya Membumikan al-Quran dan Wawasan al-Quran, kita dapat memahami bentuk dari corak tafsir yang disebut adabiy-ijtima'iy.
Secara historis, beberapa pandangan menghubungkan corak adabiy-ijtimaiy dengan Muhammad Abduh dan murid-muridnya, seperti Rasyid Ridha dan Musthofa al-Maraghi. Meskipun sebenarnya, bila dilacak ke periode lebih awal, dapat dihubungkan dengan mufassir-mufassir lebih tua akan tetapi karena kemunculan istilah tersebut di masa kontemporer maka penandaannya dikembalikan kepada tokoh di era ini juga.
Secara umum, penamaan terhadap kecenderungan tafsir yang berorientasi pada problem penyelesaian masalah kemasyarakatan dengan istilah adabiy-ijtimaiy, cocok-cocok saja. Namun bila Muhammad Abduh turut disebut terkait dengan corak ini, ada sesuatu yang harus dipahami terlebih dahulu. Kenapa? karena Abduh cenderung "apatis" terhadap pendekatan linguistik (lughawiy) dalam menafsirkan al-Quran. Abduh cukup sinis terhadap tafsir yang repot dengan "olah kata dan struktur kalimat" yang bersifat strukturalisme tekstual. Pendekatan lughawiy bagi Abduh tidak lebih dari latihan kebahasaan terhadap al-Quran. Abduh menyarankan, sebagaimana terekam dalam banyak pendapat Abduh yang dikutip oleh Muhammad Ahmad Khalafullah dalam al-Fann al-Qashashi fi al-Quran al-Karim, pendekatan sastra dalam memahami al-Quran.
Dengan pendekatan sastrawi, bagi Abduh sangat memungkinkan bagi penikmat al-Quran untuk dapat memahami kesatuan struktural-konseptual dan kontekstual dalam al-Quran. Sehingga kita umat Islam dapat mengupayakan apa yang disebutnya al-ihtida' li al-Quran: menjaring hidayah al-Quran untuk keperluan kebangkitan peradaban Islam. Bukannya Abduh tidak peduli terhadap aspek lingual al-Quran, tetapi baginya al-Quran lebih dari sekedar fenomena kebahasaan biasa. Kebutuhan mendapatkan "air" makna implementatif lebih penting daripada "timba-timba" instrumental. Hal ini memungkinkan bila bahasa al-Quran didekati dengan prinsip sastra yang afektif daripada prinsip linguistik yang kognitif. Abduh mengapresiasi akrobat lingual al-Zamakhsyari dengan al-Kasysyaf-nya dan untuk sementara, itu cukup untuk menunjukkan estetika tekstual al-Quran. Yang terpenting saat ini, bagi Abduh, tafsir al-Quran harus berorientasi pada hajat al-ashr: problem peradaban umat Islam.
Ada nama lain yang harus ditekankan dengan kehadiran istilah adabiy-ijtimaiy, yaitu Amin al-Khuli. Tokoh ini dinilai oleh pengamat tafsir al-Quran, memberi pondasi unik pada tradisi tafsir filologis yang merentang sejak era pertengahan hingga saat ini. Amin al-Khuli, pakar sastra Arab memperkuat pandangan Abduh meskipun ia tidak terlalu setuju untuk mengabaikan pendekatan linguistik.
Karena, makna sastrawi al-Quran, bagi al-Khuli, hanya bisa didapat melalui perspektif tekstual al-Quran. Momentum pesan al-Quran hanya eksplosif bila dipahami dalam bingkai filologisnya. Artinya, langsung merangsek masuk ke dalam makna-makna al-Quran tanpa meneliti petunjuk-petunjuk tekstualnya, justru mereduksi kedahsyaratan pesan-pesan sastrawi al-Quran. Bagi Amin al-Khuli, hajat al-Quran secara lingual harus dipenuhi dulu sebelum beranjak pada hajat al-ashr.
Pada posisi ini, Abduh dan Amin al-Khuli nampak sedikit berbeda. Pendekatan adabiy Abduh berorientasi pragmatis sedangkan pendekatan adabiy Amin al-Khuli lebih akademis. Abduh merupakan seorang tokoh yang banyak bersinggungan dengan persoalan kemasyarakatan terutama dalam posisi di akhir karirnya sebagai mufti Mesir sedangkan Amin al-Khuli merupakan akademisi tulen. Tidak heran bila meskipun sama-sama sepakat dengan pendekatan sastrawi terhadap al-Quran, aplikasi pemikiran dari dua pemikiran tokoh tersebut dapat berbeda. Tafsir Abduh lebih sosiologis (ijtimaiy) sedangkan implementasi tafsir Amin al-Khuli, sebagaimana dalam al-Tafsir al-Bayani li al-Quran Karim karya Bint Syathi', lebih literal. Abduh banyak membicarakan isu-isu aktual kemasyarakatan sedangkan aplikasi tafsir Amin al-Khuli lebih formal-tekstual. Wallahu a'lam...
Pamekasan, 02 September 2013