Oleh Syukron Affani
Syeikh Nawawi hidup di masa ketika semangat
pembaharuan Islam bergema di kawasan Timur Tengah, terutama Mesir. Ia hidup
sejaman dengan tokoh garda depan gerakan Pan-Islamisme (al-Wihdah
al-Islamiyah)[1]
Jamaluddin al-Afghani (lahir 1839 M), Muhammad Abduh (lahir 1349 M), dan tokoh
pembaharuan yang lain, Rifaah Badawi Rafi' al-Tahtawi (1801-1873 M). Propaganda
gerakan pembaharuan tokoh-tokoh tersebut bergaung ke seluruh dunia muslim dan
mendapatkan momentum di negara muslim yang sedang bergulat dengan kolonialisasi
Barat dan pengaruhnya.
Syeikh Nawawi merupakan putera Banten keturunan
Sultan Hasanudin yang kesebelas. Seperti umumnya rakyat Indonesia dan keturunan keluarga
kerajaan Banten, Syeikh Nawawi al-Jawi adalah seorang yang anti penjajah.
Semangatnya mendalami agama ia cita-citakan untuk membantu perlawanan rakyat
terhadap penjajah kala itu. Hanya suratan takdir yang membuatnya ''terdampar''
di tanah suci Mekah dan malah menjadi ulama tersohor di sana.
Meskipun Syeikh Nawawi al-Jawi berasal dari
Indonesia namun karyanya yang tidak sedikit, diakui dan memberi pengaruh
terhadap perkembangan Islam, tidak saja di Asia Tenggara (khususnya Indonesia)
melainkan juga di Timur Tengah dan belahan dunia Islam lainnya. Salah satu
karya besarnya yang dapat dijumpai saat ini adalah tafsir Marâh Labîd. Karyanya
ini masih digunakan di pesantren-pesantren di Indonesia hingga saat ini, misal
di Madrasah Ma'had 'Aly Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.
Tafsir Marâh Labîd atau dikenal juga dengan
nama Tafsir Munir merupakan tafsir al-Quran yang style-nya mirip
tafsir Jalâlain; campuran antara model tafsir bi ma'tsur dan bi
al-ra'y. Tafsir karya Syeikh Nawawi al-Jawi tersebut memiliki corak tafsir
periode pertengahan (afirmasi) yang memberikan penjelasan secara global dan
pendek-pendek dari ayat ke ayat secara numerik dan sesekali mengupas i'rab lafal
ayat. Tafsir tersebut belum mendapatkan pengaruh model penafsiran
tematik-kontemporer yang dipelopori oleh murid dan kawan Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh.
Hal itu dapat dimaklumi karena Syeikh Nawawi hidup
dan berkembang di kawasan yang meskipun kosmopolit tetapi kental dengan
semangat Islam yang ortodoks. Di samping itu, masa hidup Syeikh Nawawi adalah
masa di mana tafsir tradisional model pertengahan masih dalam momentum
penafsiran yang dianut mayoritas umat Islam. Terlepas dari itu semua, karya
tafsir Syeikh Nawawi al-Bantani diakui oleh ahli tafsir di Indonesia sebagai
karya tafsir yang menempati posisi penting dalam sejarah tafsir al-Quran di
dunia Melayu-Indonesia setelah Turjuman al-Mustafîd (tafsir lengkap
al-Quran pertama dalam bahasa Melayu) karya Abdul Rauf al-Singkili, yang
ditulis sekitar tahun 1675 M.[2]
[1]Pan-Islamisme
merupakan ideologi yang mulai marak pada tahun 1860-1870. Sultan Utsmani Abdul
Aziz dan penerusnya, Abdul Hamid II yang semula memiliki proyek
''imperialisme'' terselubungnya ini. Pan-Islamisme ini dengan bertujuan untuk
menyatukan seluruh umat Islam di dunia di bawah kepemimpinan kekhalifahan Turki
Utsmani dari kekuatan Rusia yang kala itu mampu memaksa imperium Utsmani
bernegosiasi. Mekkah kala itu termasuk daerah yang berada dalam kekuasaan
imperium Utsmani. Pan-Islamisme yang diusung Jamaluddin al-Afghani juga
bertujuan menyatukan umat Islam dalam suatu wadah solidaritas ummah. Namun,
ia tidak mengusung semangat ini untuk kepentingan politik Turki Utsmani. Albert
Hourani, Pemikir Liberal di Dunia Arab, terj. Suparno dkk, (Mizan:Bandung, 2004), hlm.
165-175
[2] Azyumardi
Azra dalam kata pengantar buku Asep Muhammad Iqbal, Yahudi dan Nasrani dalam
al-Quran: Hubungan antar Agama menurut Syeikh Nawawi Banten, (Teraju:Jakarta, 2004), hlm. xxiii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar