- GAMBARAN PEMBUKA
Alkisah,
dipinggiran sebuah hutan nan lebat seorang petualang alam bernama Albion sedang mengamati kondisi sekitar sambil memeriksa
senapan, tali, pisau, kaleng air, kompas, alat komunikasi darurat dan peralatan
lainnya. Kini ia bersiap-siap menjelajah hutan yang belum dikenalnya itu.
Beberapa hari sebelumnya, Albion berhasil
mengumpulkan beberapa informasi penting dari penduduk pinggiran hutan seperti
legenda mengenai hutan itu dan beberapa petunjuk untuk jalur-jalur yang
memungkinkan dan yang berbahaya.
Diwaktu yang
sama, Albion bertemu dengan Jibran, seseorang
yang juga hendak menjelajah hutan itu. Berbeda dengan Albion,
Jibran hanya menunjukkan sebilah pisau kecil sebagai bekal. Jibran merasa tak
perlu melakukan persiapan apapun. Ia percaya pada kemampuannya sendiri. Ia
percaya pada instingnya untuk menaklukkan teror hutan itu.
“Kau tentu
seorang yang hebat…,” komentar Albion.
“Hutan yang
eksotik..,” Jibran menatapkan matanya penuh percaya diri ke pucuk-pucuk pohon
besar disekitarnya, “Aku tahu harus bagaimana dengan hutan ini. Pisauku yang
akan menunjukkannya.” Jibran menatap Albion
dan alat-alat bawaannya. Keduanya pun berpisah masuk hutan asing tersebut.
Siapakah
diantara keduanya yang akan berhasil menjelajahi hutan dengan selamat? Terlihat
seperti apa Albion dan Jibran menunjukkan
dirinya untuk menjelajahi hutan. Jibran dengan pisaunya, jelas kualitas seorang
jago dan hebat. Kalau tidak, berarti ia seorang yang nekat. Kenapa? Kita tentu
tahu jawabannya kecuali Sahabat tidak mengerti apakah hutan itu. Albion ? Kita bayangkan saja, betapa ribet ia dengan
senapan dan sebagainya. Tetapi itulah kualitas Albion.
Ia bersiap-siap dengan segala kemungkinan di hutan. Albion
seorang yang berhitung dengan resiko hutan. Sebab, tujuannya ke hutan bukan
untuk bunuh diri atau menjadi Tarzan karena tidak bisa kembali pulang.
- METODE PENELITIAN
Cara itu strategi
dan strategi itu penting! Jangan pertaruhkan niat dan maksud Sahabat, apapun,
tanpa desain cara yang baik. Sebab niat dan maksud yang baik, akan berantakan
tanpa langkah, rencana dan cara yang baik juga. Tidak percaya? Coba saja dekati
lawan jenis Sahabat, teriak keras-keras dikupingnya kalau Sahabat menyukainya.
Tidak perlu sandalnya yang melayang, sumpah-serapahnya saja cukup untuk membuat
Sahabat membuang muka. Ya, kecuali Sahabat memang tidak punya muka.
Cara adalah
pengertian metode yang sederhana. Tidak sembarang cara tetapi cara yang
terkonsep dan terukur. Konsep dan ukuran cara tersebut berguna untuk memastikan
tercapainya tujuan dan Keilmiahan penelitian. Sekaligus, berguna untuk
merancang cara-cara lain yang lebih baik. Dan makalah ini tidak berkeinginan
membicarakan cara (metode) secara terbuka. Sebab percuma berbicara banyak mengenai
teori bila Sahabat tidak memiliki sekadar imaji untuk mempraktekkannya. Praktek
penelitian langsung akan lebih gamblang memberikan gambaran tentang metode
penelitian karena secara teoritik, metode penelitian cukup njelimet pembahasannya.
Tetapi marilah kita coba awali memahami metode penelitian yang sangat
signifikan fungsinya di era saat ini yang maju karena pesatnya penemuan oleh
penelitian-penelitian ilmiah. Setidaknya, saat skripsi, Sahabat tidak canggung
bersebadan dengan metode penelitian. Taruhlah saat ini Sahabat belum mengambil
SKS MP (Metode Penelitian).
Secara umum,
metode penelitian dibagi tiga : Kuantitatif, Kualitatif dan perpaduan diantara
keduanya. Metode Kuantitatif sangat bergantung pada kemampuan interaksi kita
dengan angka-angka. Bila Sahabat alergi dengan matematika, jangan
dekat-dekat metode ini. Metode
Kualitatif adalah metode yang mengesampingkan arti akurasi penelitian yang
diatur oleh angka-angka. Metode ini banyak digunakan dalam penelitian
non-eksakta (sosial). Kemampuan Sahabat membaca fakta dan menguraikannya dalam
kata-kata, sangatlah penting. Adapun metode ketiga, perpaduan antara
kuantitatif dan kualitatif adalah metode yang cukup banyak digunakan untuk saat
ini. Metode yang memadukan argumen kata-kata dengan angka dan sebaliknya. Bisa
dikatakan, hampir semua skripsi mahasiswa Adab bercorak yang nomor dua :
kualitatif.
Penelitian
kuantitatif sangat dipengaruhi oleh disiplin ilmu eksak yang sempat memainkan
pendulumnya secara meyakinkan pada masa modernisasi di Barat abad 19. Kemajuan
yang dicapai Barat saat itu menempatkan nalar positivis dan empiris, diatas
segala-galanya. Diluar dua hal itu, dinilai tidak dapat diukur, diprediksi dan
dikonsep sehingga tidak rasional. Hingga kemudian sekelompok sosiolog dari
“Madzhab Chicago” pada tahun 1920-1930 berupaya meyakinkan dunia keilmuan bahwa
ekspansi penelitian kuantitatif yang kaku, ketat dan mengandalkan generalisasi
harus dikembalikan ke garis teritorialnya yaitu penelitian-penelitian eksakta
(deretan ilmu fisika, kimia dan ekonomi). Ilmu sosial tidak bisa menempatkan
jiwa manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan seperti halnya fenomena keteraturan dan
kepastian dalam ilmu alam. Memakai nalar ilmu alam murni dalam ilmu sosial,
jelas mereduksi gejala manusia yang dinamis dan unik. Disinilah menurut mereka,
penelitian kualitatif memiliki peran penting.
Pendukung
kuantitatif tidak tinggal diam. Kualitatitif ditudingnya tidak ilmiah,
subyektif dan bias. Ilmuwan yang setia dengan kuantitatif memandang bahwa hasil
penelitian kualitatif sekadar wacana dan kritisisme belaka; bukan teori.
Pandangan kualitatif yang postrukturalis dan postpositivis itu, dinilainya
sebagai serangan terhadap akal mekanis dan kebenaran absolut serta upaya yang
membenarkan versi kebenaran diatas kebenaran yang lain. Pendukung kuantitatif
merasa berhak untuk ngamuk-ngamuk karena dengan cara merekalah Eropa
bisa mencapai kemajuan tehnologi yang luarbiasa. Tetapi seiring dengan laju
waktu dan modernitas menunjukkan banalitas dan vandalitas produknya,
dehumanisasi merebak membuncahkan keresahan. Ternyata, deretan angka dan kemewahan
gugusan material, membuat manusia kering dan hampa. Maka tampillah metode
penelitian kualitatif tanpa ragu mensejajarkan diri bahkan melampaui
kuantitatif untuk merecah kembali fenomena kehidupan dengan imajinasi yang
menukik dan kata-kata yang menghunjam. Lahirlah hermeneutik, semiotik, Marxisme,
feminisme, dekonstruksi, fenomenologi, etnomenologi dan lain seterusnya. Inilah
era postmodernisme-postrukturalisme.
- GAMBAR DITUTUP
Albion memiliki kemungkinan lebih besar berhasil
menjelajahi hutan itu. Alat-alat yang ia bawa dan persiapan lainnya, mestilah
alat-alat yang akrab dan dikuasainya. Jibran, mungkin berhasil tetapi mungkin
juga tidak. Jibran, dalam kacamata ilmiah, adalah sesuatu yang sulit dibaca dan
diukur. Jibran tidak layak diikuti jejaknya. Andai ia berhasil sekalipun.
Sepertinya Sahabat merasa bahwa bentuk
cara dalam penelitian adalah keharusan. Bagi penulis cara (metode), kualitatif
sekalipun, tak ubahnya rejim yang harus ditaati. Jika tidak, penelitian Sahabat
jelas tidak ilmiah dan akademis. Jika tidak, Sahabat cuma dianggap penulis
fiksi dan rumor. Tetapi kemampuan kita menguasai metode penelitian adalah
keniscayaan sebab dunia pendidikan, sosial, budaya dan politik saat ini memberi
tempat yang layak bagi yang berpenampilan metodis. Lagi-lagi, jika tidak,
Sahabat tidak akan bisa berbuat banyak. Kenapa? Karena apa yang kita lakukakan
dianggap tidak jelas dan tidak memiliki masa depan. Belum percaya? Simak
keluhan Sofyan Effendi, Rektor (mantan) UGM pada tahun 2004 silam bahwa tidak ada satupun universitas di Indonesia yang reputasinya tembus level Asia saat ini. Apa pasal? Perguruan Tinggi di Indonesia
telah kehilangan tradisi penelitiannya. Dulu orang Malaysia Belajar di
Indonesia, sekarang sebaliknya. Begitulah…#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar