Syukron Affani
www.gusdur.net |
Begitu Presiden SBY menyebut Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Bapak
Pluralisme pada acara pemakaman Gus Dur, banyak orang dari kalangan pesantren
sedikit tertegun. Presiden menyandangkan predikat tersebut untuk mengenang
jasa-jasa besar Gus Dur sebagai tokoh kerukunan umat beragama. Istilah
pluralisme belum terlalu lama dipolemikkan di kalangan umat Islam bahkan
ujung-ujungnya, MUI melabeli haram terhadap aktivitas-aktivitas keagamaan yang
mewakili istilah tersebut.
Sepertinya saja tidak banyak pihak yang mempersoalkan penyematan
tersebut karena toh bagaimanapun masyarakat berkeinginan mengenang dan
menghargai Gus Dur, gelar apapun bisa saja dialamatkan kepada Gus Dur. Namun
tampaknya bagi Gus Sholah, pluralisme yang diasumsikan kepada perjuangan Gus
Dur harus "diluruskan" dengan penafsiran yang benar. Pada acara
peringatan 40 hari meninggalnya Gus Dur di Masjid al-Akbar Surabaya, Gus Sholah
memberikan catatan garis bawah bahwa berdasarkan apa yang dipahami Gus Sholah,
perjuangan kemajemukan yang digelorakan Gus Dur adalah kemajemukan sosial. Gus
Sholah hendak menghindarkan Gus Dur dari kontroversi berkelanjutan mengenai
perjuangan kemajemukan yang digelorakan semasa hidupnya.
Sebagai tokoh Islam, Gus Sholah tentu mengikuti perdebatan yang menarik
dan mengulur di tengah-tengah masyarakat beberapa waktu lalu terkait dengan isu
pluralisme sebagai pandangan yang melihat semua ajaran agama memiliki kebenaran
yang setara. Isu ini bergulir panas di kalangan umat Islam dan disikapi oleh
Majelis Ulama Indonesia dengan fatwa haram pluralisme. Pluralisme agama dinilai
meruntuhkan identitas primordial Islam (Q.S Ali Imron 3:19) sebagai agama yang
paling mutlak dan absolut.
Kalangan umat Islam yang menolak pandangan kemajemukan model pluralisme
kesetaraan agama tersebut tidak menampik bahwa Allah menciptakan manusia dalam
banyak situasi keragaman, namun mereka selalu siap mempersoalkan keabsahanan
pandangan kesetaraan agama. Demikian sensitifnya mereka, kata "pluralisme"
menjelma sebagai sesuatu yang konotasinya pasti negatif dan syarat agenda
tersembunyi untuk merubuhkan persatuan umat Islam (ukhuwah Islamiyah).
Terkecuali, kata "pluralism"
diganti (bukan semata dimaknai) dengan kata "pluralitas".
Gus Dur mengikuti perkembangan isu tersebut dan termasuk salah satu
tokoh yang menjadi sorotan. Bahkan Gus Dur meminta agar menghindari penggunaan
istilah pluralisme yang terlanjur "dihakimi" massa tersebut dan
menganjurkan penggunaan kata kemajemukan demi terhindarnya kesalahpahaman. Gus
Dur sadar tidak berguna berurusan dengan istilah yang dipermasalahkan. Toh, secara
substantif makna dari istilah tersebut belum tentu ditolak dan bahkan telah
dilaksanakan oleh umat Islam.
Menghabiskan waktu untuk mendiskusikan pemahaman pluralisme yang
dimaknai dengan kesetaraan kebenaran ajaran semua agama, sama sekali tidak
produktif mendorong dialog antar umat beragama di saat ini. Bukan hanya
mayoritas umat Islam, tetapi juga umat Nasrani dan umat agama-agama lain yang
tidak akan rela dirayu atau paksa mengakui kebenaran ajaran agama lain.
Kerukunan umat beragama tetap penting untuk dilestarikan namun isu pendorongnya
harus dilakukan melalui kerangka dan paradigma yang nyaman bagi semua pihak.
Pluralisme Sosial, Yes!
Pluralsme Agama, No!
Pluralisme tidak menitik beratkan pandangannya pada keragaman sisi-sisi
yang berbeda dan potensial bertolak belakang (kontradiktif) melainkan melihat
pada aspek-aspek kesamaan yang dapat didekatkan bahkan dipersamakan. Sebagian
orang lelah menyaksikan pertikaian yang bersumbu dari perbedaan pandangan dan
ajaran kebenaran agama. Cita-cita mereka untuk mendamaikan semua agama
dilakukan dengan meneracak esensi ajaran agama-agama melalui simpul-simpul inti
ajaran yang dapat dipertautkan antara satu agama dengan agama yang lain.
Kegairahan merukunkan dan mendamaikan umat beragama melalui ajaran
agama-agama tersebut patut direspon secara positif namun dengan catatan yang
ketat. Sentimen keberagaman masing-masing umat beragama tidak akan mudah
ditundukkan ke dalam penyederhanaan-penyederhanaan pandangan bahwa pada
dasarnya semua ajaran agama adalah sama dan karena itu setara posisinya dalam arasy kebenaran.
Ada cara lain yang lebih memungkinkan bagi terciptanya kerukunan dan
kedamaian antar umat beragama, yaitu aspek sosial dan budaya. Rasulullah
memberikan contoh merekonstruksi tatanan masyarakat di Madinah bukan melalui
kerangka keagamaan tetapi melalui kerangka sosial dan budaya. Keyakinan dan
keimanan keagamaan tidak ditonjolkan dalam rekonstruksi tersebut. Justru agama
dipandang sebagai bagian dari proyek penataan sosial dan budaya. Umat Islam,
suku pagan Aus dan Khazraj, serta orang-orang Yahudi dilibatkan sebagai satu entitas
masyarakat yang diikat dalam satu ikatan sosial: masyarakat Madinah bersatu!
Artinya, kampanye penataan masyarakat Madinah digalakkan oleh Rasulullah
melalui perspektif pluralisme sosial-budaya dan bukan melalui gembar-gembor
pluralisme agama. Kesetaraan yang ditunjukkan Rasulullah merupakan kesetaraan
sebagai masyarakat sosial, dan budaya Madinah. Pluralisme social dapat menjadi
pengikat yang kuat diantara anasir-anasir kekuatan politik dan agama saat itu.
Apalagi ancaman instabilitas politik internal Madinah sering terjadi ditambah
ancaman gangguan yang mungkin datang dari kekuatan dari luar (Mekkah).
Kebebasan berkeyakinan dan berekspresi justru sangat dilindungi dalam piagam
sosial Madinah yang dicetuskan oleh Rasulullah.
Piagam Madinah merupakan bagian dari rekonstruksi pluralisme sosial
masyarakat Madinah yang mensubordinat kepentingan politik dan agama demi
kenyamanan, keamanan, dan ketertiban masyarakat Madinah. Kelompok pendatang (muhajirin)
dipersaudarakan dengan penduduk lokal (Anshar) guna mendukung eratnya
ikatan emosional dan social masyarakat Madinah. Sulit membayangkan terciptanya
masyarakat yang berdamai kala itu bila Rasulullah mengangkat isu sensitif
keagamaan.
Pada tataran teologis, umat Islam sulit menerima kampanye John Hick
untuk mengamini konsep agama globalnya: satu pandangan keagamaan tentang sang
Tunggal namun dieksepsi dengan beragam penghayatan. Cita-cita satu agama global
John Hick hanya dapat diapresiasi oleh sedikit elit agama yang merasa digempur
letih menyaksikan konflik-konflik keagamaan. Namun, dari sisi sosiologis dalam
pengertian kesadaran terhadap hubungan-hubungan lingkungan kemasyarakatan, umat
Islam pasti sanggup diajak duduk sama rata dan berdiri sama tinggi dengan semua
entitas agama. Aspek sosiologis ini memiliki keunggulan karena suatu agama
dipeluk oleh orang-orang dari berbagai suku, klan, dan kawasan. Kesadaran
sosiologis lebih mudah dikondisikan daripada kesadaran keagamaan yang sarat
dengan sentimen-sentimen kebenaran.
Gus Dur jelas bukan penggiat pluralisme agama, persis seperti Romo
Magnis Suseno juga bukan penggiat pluralisme agama dari kalangan Kristen. Andai
apa yang diperjuangkan Gus Dur nampak sebagai pluralisme agama, lebih
disebabkan oleh agama merupakan faktor penting dalam pranata sosial di
Indonesia. Gus Dur mengambil peran sebagai aktor inti kerukunan umat beragama
bukan untuk meyakini klaim kebenaran seluruh ajaran historis agama lain.
Keyakinan seorang Gus Dur terhadap kebenaran telah diwakilkannya kepada ajaran
Islam semata, sementara kebenaran agama lain, sebagaimana ditegaskan oleh
Masdar F. Mas'udi, biar menjadi urusan Allah. Yang paling penting, masyarakat
dapat hidup rukun dalam satu payung hukum, sosial, dan budaya yang saling
menghargai. Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar