Al-Quran adalah kitab petunjuk yang sangat kaya dengan aneka rupa nilai
dan ajaran yang direkam dalam teks-teks yang indah (sastrawi) walau terkesan tidak sistematis. Oleh karena itu al-Quran tidak akan selesai dipahami
dalam suatu definisi tunggal yang semata bersifat tekstual.[1] Sentralitas teks
dalam tradisi tafsir al-Quran tidak semata memunculkan implikasi metodis bagi mufassir
tetapi juga ketergantungan primordialisme terhadap referensi-referensi masa lalu.
Sementara jaman yang terus beranjak dan tak pernah jenak, mengajak umat
Islam terus berlari. Kenyataannya menjadi tidak pernah mudah karena umat Islam
tidak dapat jauh ke mana-mana. Elit-elit agama membatasi ruang gerak umat
dengan tafsir-tafsirnya yang tendesius: selalu merepresentasikan masa lalu
secara kaku.
Keragu-raguan umat Islam
menghadapi kemajuan jaman, bukan karena umat Islam tidak sanggup menghadapi
masa depan tetapi disebabkan oleh ikatan-ikatan kusut masa lalu terhadap
sentimen keagamaan umat Islam itu sendiri. Dalam bahasa Kenneth Cragg, ketika
ia mencoba menelisik filosofi sejarah kisah-kisah dalam al-Quran: the Qur’an
could not be final as past perpetuation but only as a perpetual present (al-Quran
selayaknya tidak berakhir sebagai masa lalu yang abadi tetapi ia juga sebagai
sesuatu yang hadir terus menerus di saat ini dan mendatang).[2]
Faktanya mayoritas umat Islam masih memandang al-Quran sebagai past
perpetuation dalam bentuknya yang sedemikian rupa dan dipaksa-paksakan
untuk menghadapi dilema modernitas di saat ini. Sedikit yang menyadari dari
mereka bahwa al-Quran harus ditempatkan dalam kerangka semangat masa depan: perpetual
present. Asumsi Cragg menyebutkan jalan tengah di mana masa lalu hadir
bersama masa kini, dan sejarah masa depan yang semestinya harus diukir oleh
umat Islam.
Inilah yang telah diperjuangkan
oleh Fazlurrahman, Nasr Hâmid Abu Zayd, Arkoun, dan al-Jâbiri. Meski
demikian, ada juga sarjana muslim yang menyadari bahwa lapis-lapis kesadaran masa
lalu telah begitu lama membungkam umat Islam. Tidak ada pilihan lain untuk
mengatasi ikatan kuat masa lalu tersebut selain dengan meninggalkannya
sama-sekali. Muhammad Syahrûr adalah sarjana yang dapat dianggap berada
di posisi ini.
Bagaimana dengan Mohamed
Talbi (Muhammad al-Thâliby)? Ia lebih
dekat kepada Syahrûr dalam menolak logika-logika masa lalu. Talbi adalah seorang
ahli sejarah Islam-Afrika Utara; seorang intelektual muslim yang mempertanyakan
efektifitas mempercayakan nasib peradaban Islam sepenuhnya pada penafsiran-penafsiran
ortodoks-tradisional. Ia berpandangan bahwa zaman baru juga memerlukan tafsir
dengan cara pandang yang terbuka pada pembaharuan. Dengan pendekatan historis
yang disemai dengan perspektif kemanusian (humanis), ia mendorongkan penafsiran
yang lebih terbuka terhadap al-Quran melalui apa yang disebutnya pendekatan (al-qirâ’ah)[3]
al-maqâshidiyyah li al-Quran al-karîm (the intentional reading of
the sacred text).
Melalui pendekatan tersebut, Talbi berupaya mengurai
maksud-maksud syâri’ berdasarkan prinsip dan gerak sejarah. Pengertian sejarah di sini adalah ibrah (hikmah historis) seperti
yang dikemukakan dalam al-Quran dalam kisah-kisah para Nabi. Para nabi dan
rasul yang diangkat kisahnya dalam al-Quran yang hidup di ruang peradabannya
masing-masing bukanlah kisah-kisah dalam pengertian historis-kronologis tetapi
historis filosofis-teologis. Oleh karena itu al-Quran memberikan penjelasan
dalam surat Yûsuf 12:111.
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu
terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur'an itu
bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang
sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman.
Jadi
pendekatan historis-humanis tersebut bertujuan melacak tujuan syâri’ (law
giver) dalam teks-teks keagamaan. Model pelacakan terhadap tujuan Tuhan
dalam al-Quran ini menurut Talbi tidak muncul sesaat, melainkan unsur-unsurnya
sudah terbangun sejak lama dan saat ini harus direvitalisasi agar dapat menguak
cakrawala ayat-ayat al-Quran dalam konteks kekinian. Pendekatan al-maqâshidiyyah
adalah upaya epistemologis-hermeneutis untuk melacak pondasi, semangat, dan
kerangka filosofis kesejarahan al-Quran di masa lalu untuk diadaptasi
pemaknaannya sesuai konteks masa kini. Namun pendekatan al-maqâshidiyyah
ini menurut Talbi melampaui cara-cara analogis (qiyâs) dalam memahami
al-Quran.
Analogis
tersebut dalam maksud Talbi adalah menghadirkan masa lalu sebagai model baku yang
kaku bagi persoalan-persoalan saat ini. Padahal bagi Talbi masa lalu itu tidak
lebih sebagai model yang usang (archaic models/archaique/qadîm) yang
tidak cocok untuk digunakan pada masa saat ini. Talbi tidak bermaksud menolak
secara a priori terhadap metode analogis. Hanya saja, baginya, saat ini
analogis (yang mengadopsi masa lalu sedemikian rupa) tidak sesuai dan tidak
dapat mengatasi problem kekinian yang kompleks. Kenapa? Karena model analogis
tersebut mengeliminasi dimensi dan karakter dinamis sejarah.[4] Semestinya asumsi-asumsi yang selama ini
banyak didasarkan pada pengalaman dan logika-logika lama terhadap al-Quran,
sudah semestinya direvitalisasi dan direorientasi agar dapat mengawal dinamika
zaman.[5]
Talbi membuat pengandaian: kira-kira apa yang akan Allah
firmankan kepada kita di saat ini dan di tempat ini (berkenaan dengan problem-problem
yang kita hadapi)? Kita tidak akan mendapatkan jawabannya. Kecuali, dengan
berusaha mengurai fakta dalam rentang waktu dan sejarah. Di sinilah arti
penting pendekatan historis-humanis (the historical human reading).
Pendekatan ini meniscayakan untuk melakukan pelacakan terhadap fakta sejarah
sebelum dan sesudah ayat-ayat al-Quran itu diturunkan. Sehingga dengan demikian
kita dapat memahami situasi historis turunnya ayat (sebagai starting point)
dan pada gilirannya dapat memahami maksud al-Quran (ghâyah al-syar’). [6]
Bagi Talbi, harus dilacak “mengapa” ayat-ayat al-Quran
menyatakan atas suatu persoalan. Sebagai sejarawan, naluri Talbi dilatih untuk
menyelidik anasir-anasir tersembungi yang bersifat impersonal atau terkait
dengan aspek-aspek di luar hubungan pelaku sejarah, seperti misal faktor
sosio-ekonomi, yang menjadi katalisator penggerak sejarah (Ala al-muarrikh
dauman wa abadan an yakûna yakizhu
al-fikr lituhassasa kullu al-tiyârât al-khafiyah).[7]
Aspek-aspek dari teks al-Quran akan
dapat dimaknai dengan baik bila konteks kemunculan dan yang melingkupinya,
dapat ditelusuri dalam bangunan kesejarahannya. Nasr Hâmid Abu Zayd sampai
menekankan bahwa al-Quran adalah produk budaya (respon terhadap persoalan
kemasyarakatan). Yakni, teks yang muncul dalam sebuah struktur budaya Arab abad
VII selama kurun waktu kurang lebih dua puluh tahun dan ditulis dengan berpijak
pada aturan-aturan budaya (bahasa) tersebut.[8]
Fazlurrahman berpendapat bahwa semua ayat-ayat al-Quran diturunkan dalam suatu
rentang waktu beserta keadaan umum dan khusus yang menyertainya. Meski
demikian, bukan berarti pesan al-Quran dibatasi oleh waktu dan keadaan tersebut
(parsial-partikular). Al-Quran memiliki nilai-nilai universal yang menjadi
payung bagi semua ruang-waktu yang disebutnya sebagai ideal-moral.[9]
Talbi
menjadi pemerhati isu-isu keagamaan lebih sering dalam posisinya sebagai
sejarawan yang menurutnya senantiasa berbekal semangat kemanusiaan. Sejarawan
menurut Talbi juga memiliki peran untuk mengurai persoalan-persoalan keagamaan
yang pelik. Kontribusi sejarawan sangat urgen dan mendasar dalam membidik
persoalan-persoalan umat manusia dengan perspektif sejarah dan kemanusiaan.[10]
Semangat kemanusiaan ini merupakan kerangka epistemik-metodis untuk melacak
titik tolak dan signifikansi (al-mantaliq wa al-hadaf) ayat-ayat
al-Quran. Bila kita telah menemukan orientasi (kebenaran) sejarah (tujuan
penciptaan alam) dalam al-Quran maka kita harus terus bergerak (harakah
mutawâsilah) evolutif ke depan berdasarkan orientasi tersebut. Inilah yang
dalam pandangan Talbi, disebut dengan petunjuk “jalan lurus” (al-shirât al-mustaqîm/the
best straight path). Jalan peradaban umat manusia yang akan mendapatkan
penerangan cahaya Ilahi.[11]
Studi terhadap pemikiran
dan penafsiran Talbi menurut penulis menarik untuk diangkat karena:
Pertama, Talbi mengemukakan pandangannya tentang al-Quran melalui (secara
garis besar) pendekatan sejarah dan perspektif kemanusiaan. Pendekatannya
tersebut ia istilahkan dengan: al-qirâ’ah al-maqâshidiyyah (the intentional
reading). Dari berbagai pemaparannya, menurut penulis, Talbi menjadikan
prinsip-prinsip sejarah dan nilai-nilai kemanusiaan sebagai panduan dalam
memahami al-Quran. Tetapi langkah Talbi tidak konsisten sebab pada suatu
kesempatan, ia menarik kesimpulan (tentang status dan emansipasi perempuan
berdasarkan surat al-Nisâ’:34-35) dalam kerangka generalisasi sejarah
namun pada kesempatan lain, ia menerapkan diversifikasi sejarah (misal, enggan
mempersamakan antara demokrasi dan syûra). Ketidak konsistenan itu
bagian dari resiko unsur pandangan evolusi sejarah yang dianut Talbi: sejarah
memiliki prinsip umum dan prinsip khas. Bagaimanakah sebenarnya konstruksi pendekatan
al-maqâshidiyyah ini?
Kedua, sosok Talbi sendiri sebagai salah satu intelektual muslim dunia
namun profil dan pemikirannya tidak dikenal di Indonesia. Mengenalkan dan menghadirkan
profil Talbi dan pemikirannya, penulis yakini dapat menambah dan melengkapi
pengetahuan dan wawasan kita di Indonesia tentang pemikiran tokoh-tokoh pembaharu
muslim yang berkiprah di dunia pemikiran Islam kontemporer dan
pemikiran-pemikiran kontemporer dunia secara umum.
Faktor-faktor inilah yang menarik dikaji dari pemikiran Mohamed Talbi yang sarat dengan perspektif
historis-sosiologis-humanis. Pertanyaan apakah kontribusi yang dimungkinkan
dari pendekatan al-maqâshidiyyah (the intentional reading) dari Mohamed Talbi ini dan apa cirikhas pendekatan tersebut, harus diungkap......
[1] Al-Quran bak lautan nan luas yang di kedalamannya terdapat banyak
permata dan mutiara. Hanya mereka yang menyelaminya dengan sungguh-sungguh saja
yang akan mendapatkan mutiara-mutiara itu. Mereka yang tidak memiliki kemampuan
"menyelam", jelas hanya akan berputar-putar di "pantai"
al-Quran. Demikian pendapat Imam Ghâzali. Nasr Hâmid Abu Zayd, Mafhûm
an-Nash: Dirâsah fi 'Ulûm al-Qur’an, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfi
al-'Araby, 2000), hlm. 277
[2] Cragg adalah seorang bishop Kristen yang melibatkan partisipasi
keilmuannya untuk melihat jejaring historis hubungan Islam dengan kebudayaan
agama-agama lain. Kenneth Cragg, The Event of the Qur’an: Islam in its
Scripture, (Oxford: Oneworld, 1994), hlm. 179
[3] Pengertian qirâ’ah di sini sering digunakan sebagai istilah kontemporer
bagi instrumen dalam proses memahami. Istilah qirâ’ah biasa digunakan
untuk menunjukkan pada model pendekatan dan jenis metodologi dalam suatu
penelitian kontemporer, semisal al-qirâ’ah al-ilmiyah, al-qirâ’ah al-ta’wîliyah,
al-qirâ’ah al-târîkhiyah, dan al-qirâ’ah al-inâsiyah. Istilah tafsîr
bila digunakan dengan pengertian sebagai instrumen atau cara dalam proses memahami,
tentu memiliki kesepadanan dengan istilah qirâ’ah. Meski demikian,
pengertian tafsîr cenderung sering digunakan untuk merujuk pada produk dan
proses pemahaman.
[4] Mohamed Talbi, ‘Iyâl Allah: Afkâr Jadîdah fi ‘Alâqat al-Muslim
bi Nafsihi wa bi al-âkharîn, Ed. Hasan bin Utsman, (Tunisia: Ceres, 1992),
hlm. 143
[5] Sejalan dengan pendapat Mohammed Arkoun bahwa untuk keperluan zaman
sekarang ini, teks suci keagamaan harus dibaca ulang melalui berbagai
pendekatan terkini untuk mendapatkan pemahaman yang terbarukan dan aplikatif.
Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer; Menuju Dialog Antar Agama, terj.
Ruslani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h.182.
[6] Mohamed Talbi, ‘Iyâl Allah …, hlm. 143
[7] Ibid., hlm. 26
[8] Nasr Hâmid Abu Zayd, Mafhûm an-Nash…,
hlm. .27-28
[9] Fazlurrahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung:
Pustaka, 1985), hlm. 7
[10] Mohamed Talbi, ‘Iyâl Allah…, hlm. 142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar