Kamis, 09 Januari 2014

MOHAMED TALBI (SEKILAS TENTANGNYA)



OLEH SYUKRON AFFANI

Al-Quran adalah kitab petunjuk yang sangat kaya dengan aneka rupa nilai dan ajaran yang direkam dalam teks-teks yang indah (sastrawi) walau terkesan tidak sistematis. Oleh karena itu al-Quran tidak akan selesai dipahami dalam suatu definisi tunggal yang semata bersifat tekstual.[1] Sentralitas teks dalam tradisi tafsir al-Quran tidak semata memunculkan implikasi metodis bagi mufassir tetapi juga ketergantungan primordialisme terhadap referensi-referensi masa lalu. Sementara jaman yang terus beranjak dan tak pernah jenak, mengajak umat Islam terus berlari. Kenyataannya menjadi tidak pernah mudah karena umat Islam tidak dapat jauh ke mana-mana. Elit-elit agama membatasi ruang gerak umat dengan tafsir-tafsirnya yang tendesius: selalu merepresentasikan masa lalu secara kaku.
Keragu-raguan umat Islam menghadapi kemajuan jaman, bukan karena umat Islam tidak sanggup menghadapi masa depan tetapi disebabkan oleh ikatan-ikatan kusut masa lalu terhadap sentimen keagamaan umat Islam itu sendiri. Dalam bahasa Kenneth Cragg, ketika ia mencoba menelisik filosofi sejarah kisah-kisah dalam al-Quran: the Qur’an could not be final as past perpetuation but only as a perpetual present (al-Quran selayaknya tidak berakhir sebagai masa lalu yang abadi tetapi ia juga sebagai sesuatu yang hadir terus menerus di saat ini dan mendatang).[2] Faktanya mayoritas umat Islam masih memandang al-Quran sebagai past perpetuation dalam bentuknya yang sedemikian rupa dan dipaksa-paksakan untuk menghadapi dilema modernitas di saat ini. Sedikit yang menyadari dari mereka bahwa al-Quran harus ditempatkan dalam kerangka semangat masa depan: perpetual present. Asumsi Cragg menyebutkan jalan tengah di mana masa lalu hadir bersama masa kini, dan sejarah masa depan yang semestinya harus diukir oleh umat Islam.
Inilah yang telah diperjuangkan oleh Fazlurrahman, Nasr Hâmid Abu Zayd, Arkoun, dan al-Jâbiri. Meski demikian, ada juga sarjana muslim yang menyadari bahwa lapis-lapis kesadaran masa lalu telah begitu lama membungkam umat Islam. Tidak ada pilihan lain untuk mengatasi ikatan kuat masa lalu tersebut selain dengan meninggalkannya sama-sekali. Muhammad Syahrûr adalah sarjana yang dapat dianggap berada di posisi ini.
Bagaimana dengan Mohamed Talbi (Muhammad al-Thâliby)? Ia lebih dekat kepada Syahrûr dalam menolak logika-logika masa lalu. Talbi adalah seorang ahli sejarah Islam-Afrika Utara; seorang intelektual muslim yang mempertanyakan efektifitas mempercayakan nasib peradaban Islam sepenuhnya pada penafsiran-penafsiran ortodoks-tradisional. Ia berpandangan bahwa zaman baru juga memerlukan tafsir dengan cara pandang yang terbuka pada pembaharuan. Dengan pendekatan historis yang disemai dengan perspektif kemanusian (humanis), ia mendorongkan penafsiran yang lebih terbuka terhadap al-Quran melalui apa yang disebutnya pendekatan (al-qirâ’ah)[3] al-maqâshidiyyah li al-Quran al-karîm (the intentional reading of the sacred text).
Melalui pendekatan tersebut, Talbi berupaya mengurai maksud-maksud syâri’ berdasarkan prinsip dan gerak sejarah. Pengertian sejarah di sini adalah ibrah (hikmah historis) seperti yang dikemukakan dalam al-Quran dalam kisah-kisah para Nabi. Para nabi dan rasul yang diangkat kisahnya dalam al-Quran yang hidup di ruang peradabannya masing-masing bukanlah kisah-kisah dalam pengertian historis-kronologis tetapi historis filosofis-teologis. Oleh karena itu al-Quran memberikan penjelasan dalam surat Yûsuf 12:111.

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
 
Jadi pendekatan historis-humanis tersebut bertujuan melacak tujuan syâri’ (law giver) dalam teks-teks keagamaan. Model pelacakan terhadap tujuan Tuhan dalam al-Quran ini menurut Talbi tidak muncul sesaat, melainkan unsur-unsurnya sudah terbangun sejak lama dan saat ini harus direvitalisasi agar dapat menguak cakrawala ayat-ayat al-Quran dalam konteks kekinian. Pendekatan al-maqâshidiyyah adalah upaya epistemologis-hermeneutis untuk melacak pondasi, semangat, dan kerangka filosofis kesejarahan al-Quran di masa lalu untuk diadaptasi pemaknaannya sesuai konteks masa kini. Namun pendekatan al-maqâshidiyyah ini menurut Talbi melampaui cara-cara analogis (qiyâs) dalam memahami al-Quran.
Analogis tersebut dalam maksud Talbi adalah menghadirkan masa lalu sebagai model baku yang kaku bagi persoalan-persoalan saat ini. Padahal bagi Talbi masa lalu itu tidak lebih sebagai model yang usang (archaic models/archaique/qadîm) yang tidak cocok untuk digunakan pada masa saat ini. Talbi tidak bermaksud menolak secara a priori terhadap metode analogis. Hanya saja, baginya, saat ini analogis (yang mengadopsi masa lalu sedemikian rupa) tidak sesuai dan tidak dapat mengatasi problem kekinian yang kompleks. Kenapa? Karena model analogis tersebut mengeliminasi dimensi dan karakter dinamis sejarah.[4] Semestinya asumsi-asumsi yang selama ini banyak didasarkan pada pengalaman dan logika-logika lama terhadap al-Quran, sudah semestinya direvitalisasi dan direorientasi agar dapat mengawal dinamika zaman.[5]
Talbi membuat pengandaian: kira-kira apa yang akan Allah firmankan kepada kita di saat ini dan di tempat ini (berkenaan dengan problem-problem yang kita hadapi)? Kita tidak akan mendapatkan jawabannya. Kecuali, dengan berusaha mengurai fakta dalam rentang waktu dan sejarah. Di sinilah arti penting pendekatan historis-humanis (the historical human reading). Pendekatan ini meniscayakan untuk melakukan pelacakan terhadap fakta sejarah sebelum dan sesudah ayat-ayat al-Quran itu diturunkan. Sehingga dengan demikian kita dapat memahami situasi historis turunnya ayat (sebagai starting point) dan pada gilirannya dapat memahami maksud al-Quran (ghâyah al-syar’). [6]
Bagi Talbi, harus dilacak “mengapa” ayat-ayat al-Quran menyatakan atas suatu persoalan. Sebagai sejarawan, naluri Talbi dilatih untuk menyelidik anasir-anasir tersembungi yang bersifat impersonal atau terkait dengan aspek-aspek di luar hubungan pelaku sejarah, seperti misal faktor sosio-ekonomi, yang menjadi katalisator penggerak sejarah (Ala al-muarrikh dauman wa abadan an yakûna  yakizhu al-fikr lituhassasa kullu al-tiyârât al-khafiyah).[7]
Aspek-aspek dari teks al-Quran akan dapat dimaknai dengan baik bila konteks kemunculan dan yang melingkupinya, dapat ditelusuri dalam bangunan kesejarahannya. Nasr Hâmid Abu Zayd sampai menekankan bahwa al-Quran adalah produk budaya (respon terhadap persoalan kemasyarakatan). Yakni, teks yang muncul dalam sebuah struktur budaya Arab abad VII selama kurun waktu kurang lebih dua puluh tahun dan ditulis dengan berpijak pada aturan-aturan budaya (bahasa) tersebut.[8] Fazlurrahman berpendapat bahwa semua ayat-ayat al-Quran diturunkan dalam suatu rentang waktu beserta keadaan umum dan khusus yang menyertainya. Meski demikian, bukan berarti pesan al-Quran dibatasi oleh waktu dan keadaan tersebut (parsial-partikular). Al-Quran memiliki nilai-nilai universal yang menjadi payung bagi semua ruang-waktu yang disebutnya sebagai ideal-moral.[9]
Talbi menjadi pemerhati isu-isu keagamaan lebih sering dalam posisinya sebagai sejarawan yang menurutnya senantiasa berbekal semangat kemanusiaan. Sejarawan menurut Talbi juga memiliki peran untuk mengurai persoalan-persoalan keagamaan yang pelik. Kontribusi sejarawan sangat urgen dan mendasar dalam membidik persoalan-persoalan umat manusia dengan perspektif sejarah dan kemanusiaan.[10] Semangat kemanusiaan ini merupakan kerangka epistemik-metodis untuk melacak titik tolak dan signifikansi (al-mantaliq wa al-hadaf) ayat-ayat al-Quran. Bila kita telah menemukan orientasi (kebenaran) sejarah (tujuan penciptaan alam) dalam al-Quran maka kita harus terus bergerak (harakah mutawâsilah) evolutif ke depan berdasarkan orientasi tersebut. Inilah yang dalam pandangan Talbi, disebut dengan petunjuk “jalan lurus” (al-shirât al-mustaqîm/the best straight path). Jalan peradaban umat manusia yang akan mendapatkan penerangan cahaya Ilahi.[11]
Studi terhadap pemikiran dan penafsiran Talbi menurut penulis menarik untuk diangkat karena:
Pertama, Talbi mengemukakan pandangannya tentang al-Quran melalui (secara garis besar) pendekatan sejarah dan perspektif kemanusiaan. Pendekatannya tersebut ia istilahkan dengan: al-qirâ’ah al-maqâshidiyyah (the intentional reading). Dari berbagai pemaparannya, menurut penulis, Talbi menjadikan prinsip-prinsip sejarah dan nilai-nilai kemanusiaan sebagai panduan dalam memahami al-Quran. Tetapi langkah Talbi tidak konsisten sebab pada suatu kesempatan, ia menarik kesimpulan (tentang status dan emansipasi perempuan berdasarkan surat al-Nisâ’:34-35) dalam kerangka generalisasi sejarah namun pada kesempatan lain, ia menerapkan diversifikasi sejarah (misal, enggan mempersamakan antara demokrasi dan syûra). Ketidak konsistenan itu bagian dari resiko unsur pandangan evolusi sejarah yang dianut Talbi: sejarah memiliki prinsip umum dan prinsip khas. Bagaimanakah sebenarnya konstruksi pendekatan al-maqâshidiyyah ini?
Kedua, sosok Talbi sendiri sebagai salah satu intelektual muslim dunia namun profil dan pemikirannya tidak dikenal di Indonesia. Mengenalkan dan menghadirkan profil Talbi dan pemikirannya, penulis yakini dapat menambah dan melengkapi pengetahuan dan wawasan kita di Indonesia tentang pemikiran tokoh-tokoh pembaharu muslim yang berkiprah di dunia pemikiran Islam kontemporer dan pemikiran-pemikiran kontemporer dunia secara umum.
Faktor-faktor inilah yang menarik dikaji dari pemikiran Mohamed Talbi yang sarat dengan perspektif historis-sosiologis-humanis. Pertanyaan apakah kontribusi yang dimungkinkan dari pendekatan al-maqâshidiyyah (the intentional reading) dari Mohamed Talbi ini dan apa cirikhas pendekatan tersebut, harus diungkap......


[1] Al-Quran bak lautan nan luas yang di kedalamannya terdapat banyak permata dan mutiara. Hanya mereka yang menyelaminya dengan sungguh-sungguh saja yang akan mendapatkan mutiara-mutiara itu. Mereka yang tidak memiliki kemampuan "menyelam", jelas hanya akan berputar-putar di "pantai" al-Quran. Demikian pendapat Imam Ghâzali. Nasr Hâmid Abu Zayd, Mafhûm an-Nash: Dirâsah fi 'Ulûm al-Qur’an, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfi al-'Araby, 2000), hlm. 277

[2] Cragg adalah seorang bishop Kristen yang melibatkan partisipasi keilmuannya untuk melihat jejaring historis hubungan Islam dengan kebudayaan agama-agama lain. Kenneth Cragg, The Event of the Qur’an: Islam in its Scripture, (Oxford: Oneworld, 1994), hlm. 179

[3] Pengertian qirâ’ah di sini sering digunakan sebagai istilah kontemporer bagi instrumen dalam proses memahami. Istilah qirâ’ah biasa digunakan untuk menunjukkan pada model pendekatan dan jenis metodologi dalam suatu penelitian kontemporer, semisal al-qirâ’ah al-ilmiyah, al-qirâ’ah al-ta’wîliyah, al-qirâ’ah al-târîkhiyah, dan al-qirâ’ah al-inâsiyah. Istilah tafsîr bila digunakan dengan pengertian sebagai instrumen atau cara dalam proses memahami, tentu memiliki kesepadanan dengan istilah qirâ’ah. Meski demikian, pengertian tafsîr cenderung sering digunakan untuk merujuk pada produk dan proses pemahaman.

[4] Mohamed Talbi, ‘Iyâl Allah: Afkâr Jadîdah fi ‘Alâqat al-Muslim bi Nafsihi wa bi al-âkharîn, Ed. Hasan bin Utsman, (Tunisia: Ceres, 1992), hlm. 143

[5] Sejalan dengan pendapat Mohammed Arkoun bahwa untuk keperluan zaman sekarang ini, teks suci keagamaan harus dibaca ulang melalui berbagai pendekatan terkini untuk mendapatkan pemahaman yang terbarukan dan aplikatif. Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer; Menuju Dialog Antar Agama, terj. Ruslani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h.182.

[6] Mohamed Talbi, ‘Iyâl Allah …, hlm. 143

[7] Ibid., hlm. 26

[8] Nasr Hâmid Abu Zayd, Mafhûm an-Nash…, hlm. .27-28

[9] Fazlurrahman, Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 7

[10] Mohamed Talbi, ‘Iyâl Allah…, hlm. 142


[11] Ibid., hlm. 145

Tidak ada komentar:

Posting Komentar