Kamis, 25 April 2013

TEORI JALUR "RANCU" DALAM MATA RANTAI HADIS NABI (SKEPTISME HADIS SARJANA BARAT)



by Syukron Affani



A. PENDAHULUAN
Keyakinan umat Islam menempatkan hadis sebagai salah satu sumber nilai dan ajaran, begitu kukuh. Menawar-nawar posisi otoritatif hadis menyerupai sebuah bentuk pengingkaran yang menyakitkan terhadap pilar utama ajaran Islam. Upaya melucuti sakralitas hadis akan berujung pada penolakan yang tegas dan bahkan keras dari umat Islam. Bagi kaum muslimin, status hadis tidak dapat digeser sejangkalpun menjauh dari al-Quran. Dalam batas tertentu, al-Quran dan hadis bagaikan "dwi tunggal" yang tidak boleh dicerai-beraikan. Hadis adalah semacam pelayan dan juru bicara tunggal al-Quran. Hadis adalah tafsir resmi al-Quran yang dilansir oleh sosok yang paling kredibel dalam agama Islam: Muhammad Rasulullah SAW.
Dalam studi hadis, kualitas sanad suatu teks hadis menentukan status dan kualitas hadis tersebut. Tentu saja sanad hadis yang berkualitas adalah sanad yang muttasil (bersambung) hingga Rasulullah SAW. Atau paling tidak hingga sahabat besar. Disamping juga sanad tersebut harus didukung oleh periwayat-periwayat yang mumpuni dan berintegritas baik secara mutawatir, masyhur, ataupun ahad. Sanad yang mutawatir menempati status kualitas terbaik karena didukung kuantitas periwayat. Dua jenis periwayatan yang lain: masyhur dan ahad, berada di urutan berikutnya, namun kualitasnya akan dapat menyamai sanad yang mutawatir bila didukung oleh perawi yang dhabit, 'adil, dan syarat penerimaan (qabul) dari hadis yang lain (dari sisi matan).[1] Demikianlah ketetapan yang dirumuskan dan disepakati ulama ilmu hadis terkait konsep sanad.
Menariknya, pandangan diatas berusaha “dikoreksi” oleh sarjana Barat. Berdasarkan konsensus di antara mereka bahwa hadis (terutama yang berkenaan dengan hukum) muncul dua dan tiga abad setelah masa Rasulullah, Joseph Schacht yang dikenal dengan pandangan "backward projection"nya merilis teori kritik sanad yang dimatangkan oleh muridnya, G.H.A Juynboll dan dielaborasi lebih kritis oleh tokoh yang lain, Harald Motzki.[2] Teori ini adalah teori common link.
Tulisan ini bertujuan memperkenalkan secara sederhana salah satu pandangan skeptis-kritis sarjana Barat mengenai eksistensi hadis: teori common link, berdasarkan pengembangan konsep G.H.A Juynboll. Teori ini penting diketahui sebagai bagian dari kritik sanad hadis yang pedas menyangsikan keotentikan kompilasi hadis (hukum) umat Islam. Selengkapnya pece' e ka'dintoh


[1] Muhammad 'Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadith : Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirut : Dar al-Fikr, 1989) hlm. 301-302
[2] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi, (Yogyakarta : LKiS, 2007), hlm. x
 

CARTESIANISME (JEJAK FILSAFAT RASIOANALISME) DALAM STUDI SOSIAL-KEAGAMAAN



oleh Syukron Affani, M.S.I


        A. Pendahuluan
Perbincangan mengenai apa yang dapat kita (manusia) ketahui dan pikirkan berlanjut pada pertanyaan bagaimana kita dapat mengetahui dan memikirkan "apa" tersebut. Pertanyaan terakhir ini terkait dengan perangkat, alat, dan cara yang dapat digunakan umat manusia dalam memperoleh pengetahuan dan kebenaran. Persoalan cara dalam mendapatkan pengetahuan sebagai concern epistemologi penting untuk diketahui dan dipahami. Hal ini berguna untuk melacak pondasi dan konstruksi bangunan pengetahuan umat manusia yang bermacam-macam. Para tokoh pemikir (filosof) mengemukakan pandangan-pandangannya mengenai persoalan ini. Sebutlah John Locke dengan pandangan empirisismenya, Rene Descartes dengan filsafat rasionalisme, Emmanuel Kant dengan kritisismenya, Henry Bergson (Prancis-Yahudi) melalui pandangan intuisionisme dan banyak lagi yang lain.
"Alat" pelacak pengetahuan memiliki kepentingan untuk menjawab pertanyaan: bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan; apakah dengan pengalaman, akal, kombinasi di antara keduanya, atau melalui intuisi (rasa/dzauq).[1] Selain yang terakhir, ketiga pandangan yang lain telah menandai kebangkitan ilmu pengetahuan, budaya, dan peradaban Eropa. Ilmu alam dan sosial di Eropa dipenuhi dengan semangat ketiga perangkat epistemologis tersebut. Renaissance di Eropa telah mengibaratkan alam ini sebagai mesin mekanis baik melalui pandangan rasionalisnya atau empirisnya.[2]
Ilmuwan Muslim sendiri memandang keempat epistemologi itu sama-sama penting dan absah. Satu dengan yang lainnya dianggap dapat saling melengkapi meskipun masing-masing memiliki aspek yang unik dan mengesankan bertolak belakang. Indera atau persepsi inderawi (sense-perseption) memunculkan metode induksi yang didasarkan pada fakta empiris (mahsusāt) dan eksperimentasi. Dari akal muncul teori deduksi, yaitu pengambilan kesimpulan yang khusus dari pernyataan-pernyataan atau rumus-rumus yang bersifat umum. Akal ini melahirkan ilmu berpikir atau "logika" yang merupakan cara berpikir abstrak untuk memahami objek-objek ma'qulāt (intelligible) yang tidak bisa ditangkap oleh persepsi inderawi. Sedangkan hati memunculkan metode intuitif yang menangkap objek-objek pengetahuan tidak melalui persepsi inderawi atau penalaran logis, tetapi melalui penyinaran (illumination) atau penyingkapan (kasysyaf) yang langsung berasal dari Tuhan[3] sebagai Sang Realitas Absolut.
Secara historis, rasionalisme yang digagas Rene Descartes bersama-sama aliran yang lain semisal empirisme (Inggris), kritisisme, idealisme, positivisme (Comte), materialisme, marxisme, pragmatisme, eksistensialisme, nihilisme hingga strukturalisme merupakan bagian dari arus filsafat materialis. Semua trend intelektual tersebut menyumbang pada kemajuan sains modern yang begitu pesat dan canggih, sehingga akhirnya paradigma saintifiklah yang menjadi paradigma utama kemodernan.[4]
Sebagai sistem filsafat "pelacak" pengetahuan, baik empirisisme, rasionalisme, kritisisme, maupun intuisionisme, menarik untuk dikupas. Namun, tulisan ini akan memfokuskan pembahasan pada filsafat rasionalisme yang digagas, terutama oleh Rene Descartes dan unsur-unsur aliran ini dalam studi sosial-keagamaan. Selengkapnya di ka'dintoh


[1] Penjelasan lebih jauh mengenai garis besar epistemologi ini dapat dilihat dalam Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Tiara Wacana: Yogyakarta, 1992) hlm 137-146.
[2] Ibid., hlm. 274
[3] Mulyadi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 119
[4] Emanuel Wora, Perenialisme: Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme, (Yogyakarta:Kanisius, 2006), hlm. 43

PEMIKIRAN ALFRED GUILLAUME TENTANG ISLAM, AL-QURAN, DAN HADITS

Oleh Syukron Affani


A.    PENDAHULUAN
Orientalisme muncul setidaknya pada abad ke-IV setelah perang Salib berlangsung ketika Konsili Gereja di Wina memutuskan untuk membentuk beberapa jabatan profesional dalam bidang bahasa Arab, Syria, dan Yunani di sejumlah universitas Eropa. Keputusan tersebut dipengaruhi permintaan dari Ramon Lulle (1234-1316), seorang filosof dan ahli kimia yang pernah mengembara sebagai misionaris, yang mempelajari ilmu dan bahasa Arab di Andalusia untuk kepentingan mengajak umat Islam beralih keyakinan pada Kristen. Konon, ia adalah misionaris Kristen pertama yang terjun langsung ke tengah-tengah umat Islam. Ramon Lulle merekomendasikan tentang arti penting memperlajari kebudayaan Arab-Islam dalam konteks meredam penyebaran agama islam.[1] Fase berikutnya setelah Perang Dunia II, ketika negara-negara Barat semakin menyadari pentingnya pengetahuan bahasa dan kultur Asia-Afrika di tengah mulai memudarnya pengaruh kolonial mereka di dua kawasan tersebut. Rencana ekspansi besar-besaran untuk pengkajian bahasa dan kultur Asia-Afrika digalakkan kembali.[2]
Menurut Roger Garaudy, orientalisme disebabkan oleh dua hal mendasar yang saling melengkapi, yaitu ideologis dan epistemologis. Orientalisme menjadi ideologis akibat kegagalan perang Salib; perang yang meninggalkan sebuah kebencian Kristen terhadap Islam, yang membuat orang-orang Kristen berpikir keras untuk "menyempurnakan tugas Tuhan".[3] Artinya, kegiatan ilmiah dan studi ketimuran yang digalakkan oleh orientalisme dapat dicurigai berada dalam konteks tersebut.
Sepertihalnya Edward Said, Garaudy melontarkan kritik epistemologis terhadap gerakan orientalisme. Orientalisme adalah sentralisme Barat yang cenderung ingin menguasai yang lain. Mereka membuat batasan-batasan terhadap orang lain dan mengontrol penerapannya berdasarkan standar pandangan mereka sendiri. Orang di luar mereka adalah the others yang selalu jadi objek. Mereka menerapkan pengalaman Barat sebagai acuan dalam studi-studi keislaman.[4]
Pandangan kritis Roger Garaudy[5] jauh dari cara pandang apologetik ala (sebagian) tokoh-tokoh muslim yang dinilai belum banyak menggali informasi yang cukup mengenai materi kritik mereka. Roger Garaudy mengalami langsung atmosfir intelektual Barat. Ia aktivis komunis yang anti-Hitler dan Mussolini (Nazisme dan Facisme) dan pernah menjadi penganut Marxisme yang taat. Pemikirannya tentang agama sempat begitu dalam dipengaruhi oleh Marx yang "sinis" terhadap agama sebagai produk sosio-historis belaka daripada aktivitas spiritual-transenden. Meski akhirnya ia berkesimpulan bahwa Marxisme gagal dan menghasilkan "hipotesis parsial yang cacat" dalam menafsirkan kelahiran, penyebaran, dan fenomena kesejarahan Islam dalam kerangka konsep materialisme-historis.[6]
Sikap kritis Roger Garaudy terhadap sarjana-sarjana Barat sejawatnya, mengirimkan pesan yang jelas kepada kita bahwa, meskipun tidak harus phobia, pandangan-pandangan keislaman sarjana Barat pernah memiliki latarbelakang catatan sejarah yang buruk yang pada era berikutnya berusaha dikompensasi oleh para penerus mereka (misal, Wlfred Cantwell Smith, William Montgomery Watt,[7] dan Harald Motzki) dengan pendekatan yang lebih "tulus" dan ilmiah.
Tokoh yang akan dibahas dalam tulisan  ini adalah Alfred Guillaume, yang pemikirannya tentang Islam dan Al-Quran secara umum, walaupun berupaya objektif, masih menggunakan pendekatan polemik. Hal ini tidak mengherankan sebab masa karir intelektualnya masih sangat mewakili jaman dan semangat orientalisme yang konfrontatif terhadap keyakinan-keyakinan vital umat Islam.

Lebih lengkapnya baca e ka'dintoh. Untuk mantranya e ka'dintoh jugeh


[1] Muhsin al-Mayli, Pergulatan Mencari Islam: Perjalanan Religius Roger Garaudy, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 193
[2] William Montgomery Watt, Titik temu Islam-Kristen: Persepsi dan Salah Persepsi, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), hlm. 150
[3] Muhsin al-Mayli, Pergulatan Mencari Islam…, hlm. 194
[4] Ibid., hlm. 195
[5] Roger Garaudy lahir pada tahun 1913 di Marseille Perancis. Ia bekas ketua organisasi pemuda Protestan sekaligus aktivis partai komunis Perancis yang gigih. Stalin sempat menjadi idolanya dan ia pernah bertemu secara pribadi dengan pimpinan komunis Uni Soviet tersebut. Pada tahun 1982, ia mengumumkan keislamannya di Swiss saat melakukan kunjungan untuk memberi kuliah di suatu universitas. Ibid., hlm. 22
[6] Ibid., hlm. 60
[7] Watt menginformasikan bahwa W.C Smith selama 20 tahun studi ketimurannya merasakan cacat mendasar pada peradaban Barat, yaiut arogansi dan hal ini juga mempengaruhi sikap Kristen. William Montgomery Watt, Titik temu Islam-Kristen…, hlm. 153