Sabtu, 13 April 2013

METAMORFOSA PESANTREN: SEBUAH KENISCAYAAN



Pernah Dimuat di JawaPos Radar Madura Tahun 2007

Abu Aay


Oleh Syukron Affani, S.S
Dahulu, menurut Abdurrahman Wahid, pesantren merupakan lembaga pendidikan umum satu-satunya untuk masyarakat luas. Sedangkan keberadaan lembaga pendidikan kraton hanya khusus terkait dengan keluarga besar kraton dan relasi-relasi elitnya. Lembaga pendidikan pesantren menampung semua lapisan masyarakat yang tidak mungkin belajar di lembaga kraton. Pesantren kala itu tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama tetapi semua keilmuan yang dibutuhkan masyarakat. Berbeda dengan sekarang di mana pesantren berkembang “elitis” hanya untuk mencetak ahli-ahli agama. Pesantren saat ini hanya menampung masyarakat yang merasa dirinya santri dan memiliki komitmen terhadap Islam sebagai ideologi. (Abdurrahman Wahid, Pesantren, Pendidikan Elitis atau Populis?, dalam buku Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta:LkiS, 2000).
Zaman telah berubah. Pesantren dituntut untuk melakukan reorientasi lagi terhadap perannya di bidang pendidikan, keagamaan, dan sosial. Kalau ''tempoe doeloe'', ketika struktur komunal masyarakat kental bersifat agraris, hubungan pesantren dengan masyarakat tampak begitu interaktif. Bahkan kala itu, pesantren dapat memerankan diri sebagai, istilah Clifford Geertz, cultural broker (perantara kebudayaan masyarakat). Pesantren menjadi pemain yang aktif memberi warna terhadap wajah peradaban masyarakat.
Namun saat ini, sebagian besar pesantren yang telah memiliki akar sejarah di masyarakat banyak yang hanya mendapatkan bagian peran melakukan ''konservasi'' alias cagar budaya semata. Pesantren-pesantren ini memilih setia pada tradisi dan sangat canggung dalam menyikapi perubahan zaman. Peran “konservasi” tersebut menempatkan eksistensi pesantren tradisional tersebut berada di ujung tanduk sejarah.
Gempuran budaya melalui arus modernisasi ekonomi, tehnologi, dan informasi membuat banyak pesantren gamang. Tidak sedikit yang memahami semangat zaman namun tidak tahu harus bersikap bagaimana. Kemajuan tehnologi dan informasi sendiri akan memunculkan kontradiksi-kontradiksi bila masyarakat pesantren gagal memaknai semangat zaman ini. Di sisi lain, ada pesantren yang “tidak jujur” karena bertahan dengan pola tradisionalismenya justru karena memahami bahwa paradigma baru dapat merampas hak-hak keistimewaan sosial yang selama ini mereka nikmati. Namun saat ini seleksi alam telah menunjukkan sejumlah pesantren yang “gulung tikar” kalah bergumul dengan zaman. Di saat yang sama muncul pesantren-pesantren baru yang mengusung optimisme baru untuk menempuh dan mengarungi arus sejarah.
Pesantren-pesantren baru tersebut siap merebut tongkat estafet perjuangan dari pesantren-pesantren tradisional yang terengah-engah bergumul dengan zaman. Pesantren-pesantren baru tersebut menginsafi perubahan waktu yang harus direspon dengan cerdas oleh dunia pesantren. Sekian banyak dari pesantren baru yang bermunculan, tetap memberi porsi yang layak dan cukup dominan bagi kajian kitab kuning namun, materi-materi edukasi yang berkenaan dengan tuntutan keadaaan saat ini mendapatkan posisi yang pasti dalam kurikulum. Mereka siap meladeni zaman dan siap mengawal gerak kemajuan zaman. Pesantren-pesantren baru ini menyiapkan diri dengan berbagai pola manajemen pendidikan terkini agar mendapatkan kembali peran sentral sebagai cultural broker (perantara kebudayaan) di tengah-tengah masyarakat kita. Dengan demikian pesantren dapat tepat menegaskan kontribusinya bagi gerak peradaban bangsa Indonesia..۞

Tidak ada komentar:

Posting Komentar