Pernah Dimuat di JawaPos Radar Madura Tahun 2007
Abu Aay |
Oleh Syukron Affani, S.S
Dahulu,
menurut Abdurrahman Wahid, pesantren merupakan lembaga pendidikan umum
satu-satunya untuk masyarakat luas. Sedangkan keberadaan lembaga pendidikan kraton
hanya khusus terkait dengan keluarga besar kraton dan relasi-relasi elitnya. Lembaga
pendidikan pesantren menampung semua lapisan masyarakat yang tidak mungkin
belajar di lembaga kraton. Pesantren kala itu tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu
agama tetapi semua keilmuan yang dibutuhkan masyarakat. Berbeda dengan sekarang
di mana pesantren berkembang “elitis” hanya untuk mencetak ahli-ahli agama.
Pesantren saat ini hanya menampung masyarakat yang merasa dirinya santri dan
memiliki komitmen terhadap Islam sebagai ideologi. (Abdurrahman
Wahid, Pesantren, Pendidikan Elitis atau Populis?, dalam buku Prisma
Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta:LkiS, 2000).
Zaman telah berubah. Pesantren dituntut untuk melakukan
reorientasi lagi terhadap perannya di bidang pendidikan, keagamaan, dan sosial.
Kalau ''tempoe doeloe'', ketika struktur komunal masyarakat kental
bersifat agraris, hubungan pesantren dengan masyarakat tampak begitu
interaktif. Bahkan kala itu, pesantren dapat memerankan diri sebagai, istilah
Clifford Geertz, cultural broker (perantara kebudayaan masyarakat). Pesantren
menjadi pemain yang aktif memberi warna terhadap wajah peradaban masyarakat.
Namun saat ini, sebagian besar pesantren yang telah
memiliki akar sejarah di masyarakat banyak yang hanya mendapatkan bagian peran
melakukan ''konservasi'' alias cagar budaya semata. Pesantren-pesantren ini
memilih setia pada tradisi dan sangat canggung dalam menyikapi perubahan zaman.
Peran “konservasi” tersebut menempatkan eksistensi pesantren tradisional
tersebut berada di ujung tanduk sejarah.
Gempuran budaya melalui arus modernisasi ekonomi,
tehnologi, dan informasi membuat banyak pesantren gamang. Tidak sedikit yang
memahami semangat zaman namun tidak tahu harus bersikap bagaimana. Kemajuan
tehnologi dan informasi sendiri akan memunculkan kontradiksi-kontradiksi bila
masyarakat pesantren gagal memaknai semangat zaman ini. Di sisi lain, ada
pesantren yang “tidak jujur” karena bertahan dengan pola tradisionalismenya
justru karena memahami bahwa paradigma baru dapat merampas hak-hak keistimewaan
sosial yang selama ini mereka nikmati. Namun saat ini seleksi alam telah
menunjukkan sejumlah pesantren yang “gulung tikar” kalah bergumul dengan zaman.
Di saat yang sama muncul pesantren-pesantren baru yang mengusung optimisme baru
untuk menempuh dan mengarungi arus sejarah.
Pesantren-pesantren baru tersebut siap merebut tongkat
estafet perjuangan dari pesantren-pesantren tradisional yang terengah-engah
bergumul dengan zaman. Pesantren-pesantren baru tersebut menginsafi perubahan
waktu yang harus direspon dengan cerdas oleh dunia pesantren. Sekian banyak
dari pesantren baru yang bermunculan, tetap memberi porsi yang layak dan cukup
dominan bagi kajian kitab kuning namun, materi-materi edukasi yang berkenaan
dengan tuntutan keadaaan saat ini mendapatkan posisi yang pasti dalam
kurikulum. Mereka siap meladeni zaman dan siap mengawal gerak kemajuan zaman.
Pesantren-pesantren baru ini menyiapkan diri dengan berbagai pola manajemen pendidikan
terkini agar mendapatkan kembali peran sentral sebagai cultural broker
(perantara kebudayaan) di tengah-tengah masyarakat kita. Dengan demikian
pesantren dapat tepat menegaskan kontribusinya bagi gerak peradaban bangsa Indonesia..۞
Tidak ada komentar:
Posting Komentar