Kamis, 25 April 2013

CARTESIANISME (JEJAK FILSAFAT RASIOANALISME) DALAM STUDI SOSIAL-KEAGAMAAN



oleh Syukron Affani, M.S.I


        A. Pendahuluan
Perbincangan mengenai apa yang dapat kita (manusia) ketahui dan pikirkan berlanjut pada pertanyaan bagaimana kita dapat mengetahui dan memikirkan "apa" tersebut. Pertanyaan terakhir ini terkait dengan perangkat, alat, dan cara yang dapat digunakan umat manusia dalam memperoleh pengetahuan dan kebenaran. Persoalan cara dalam mendapatkan pengetahuan sebagai concern epistemologi penting untuk diketahui dan dipahami. Hal ini berguna untuk melacak pondasi dan konstruksi bangunan pengetahuan umat manusia yang bermacam-macam. Para tokoh pemikir (filosof) mengemukakan pandangan-pandangannya mengenai persoalan ini. Sebutlah John Locke dengan pandangan empirisismenya, Rene Descartes dengan filsafat rasionalisme, Emmanuel Kant dengan kritisismenya, Henry Bergson (Prancis-Yahudi) melalui pandangan intuisionisme dan banyak lagi yang lain.
"Alat" pelacak pengetahuan memiliki kepentingan untuk menjawab pertanyaan: bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan; apakah dengan pengalaman, akal, kombinasi di antara keduanya, atau melalui intuisi (rasa/dzauq).[1] Selain yang terakhir, ketiga pandangan yang lain telah menandai kebangkitan ilmu pengetahuan, budaya, dan peradaban Eropa. Ilmu alam dan sosial di Eropa dipenuhi dengan semangat ketiga perangkat epistemologis tersebut. Renaissance di Eropa telah mengibaratkan alam ini sebagai mesin mekanis baik melalui pandangan rasionalisnya atau empirisnya.[2]
Ilmuwan Muslim sendiri memandang keempat epistemologi itu sama-sama penting dan absah. Satu dengan yang lainnya dianggap dapat saling melengkapi meskipun masing-masing memiliki aspek yang unik dan mengesankan bertolak belakang. Indera atau persepsi inderawi (sense-perseption) memunculkan metode induksi yang didasarkan pada fakta empiris (mahsusāt) dan eksperimentasi. Dari akal muncul teori deduksi, yaitu pengambilan kesimpulan yang khusus dari pernyataan-pernyataan atau rumus-rumus yang bersifat umum. Akal ini melahirkan ilmu berpikir atau "logika" yang merupakan cara berpikir abstrak untuk memahami objek-objek ma'qulāt (intelligible) yang tidak bisa ditangkap oleh persepsi inderawi. Sedangkan hati memunculkan metode intuitif yang menangkap objek-objek pengetahuan tidak melalui persepsi inderawi atau penalaran logis, tetapi melalui penyinaran (illumination) atau penyingkapan (kasysyaf) yang langsung berasal dari Tuhan[3] sebagai Sang Realitas Absolut.
Secara historis, rasionalisme yang digagas Rene Descartes bersama-sama aliran yang lain semisal empirisme (Inggris), kritisisme, idealisme, positivisme (Comte), materialisme, marxisme, pragmatisme, eksistensialisme, nihilisme hingga strukturalisme merupakan bagian dari arus filsafat materialis. Semua trend intelektual tersebut menyumbang pada kemajuan sains modern yang begitu pesat dan canggih, sehingga akhirnya paradigma saintifiklah yang menjadi paradigma utama kemodernan.[4]
Sebagai sistem filsafat "pelacak" pengetahuan, baik empirisisme, rasionalisme, kritisisme, maupun intuisionisme, menarik untuk dikupas. Namun, tulisan ini akan memfokuskan pembahasan pada filsafat rasionalisme yang digagas, terutama oleh Rene Descartes dan unsur-unsur aliran ini dalam studi sosial-keagamaan. Selengkapnya di ka'dintoh


[1] Penjelasan lebih jauh mengenai garis besar epistemologi ini dapat dilihat dalam Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, (Tiara Wacana: Yogyakarta, 1992) hlm 137-146.
[2] Ibid., hlm. 274
[3] Mulyadi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 119
[4] Emanuel Wora, Perenialisme: Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme, (Yogyakarta:Kanisius, 2006), hlm. 43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar