Oleh Syukron Affani
Periodeisasi Penafsiran
(Marâhil al-Tafsîr)
Secara umum periodeisasi tafsir al-Quran dibagi
ke dalam 3 (tiga) kluster: klasik, pertengahan, dan kontemporer. Pembabakan
tafsir ke dalam tiga kluster ini memudahkan dan untuk sementara memadai.[1]
Memudahkan karena sederhana dalam menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan
tafsir meskipun sesungguhnya waktu dan realitas tidak sesederhana pembagian
awal, tengah, dan akhir. Namun untuk sementara memadai sebagai bahan kajian
awal.
Pada tahapan lebih lanjut, pembabakan tersebut
memerlukan pemikiran kembali mengingat apa yang disebut dengan babakan
kontemporer dapat memanjang mengiringi ‘kekinian’. Tanda waktu yang kita sebut
‘saat ini’ atau ‘sekarang’ dan mulai kita beri tanda dengan istilah
‘kontemporer’ akan segera lampau dan tidak kontemporer lagi. Akumulasi
“sekarang” yang melampau ini akan kita kategorikan ke dalam kelompok waktu
pertengahan atau tetap kita rangkul dalam kekontemporeran? Problem nomenklatur
akan mewarnai penandaan-penamaan bagi klasifikasi sejarah perkembangan tafsir
al-Quran berikutnya.[2]
Oleh karena itu, beberapa pakar sejarah tafsir al-Quran
menggunakan pendekatan historis-periodik sekaligus pendekatan filosofis
konseptual dalam menguraikan perkembangan tafsir. Pendekatan historis-periodik
efektif menggambarkan fenomena perkembangan tafsir masa awal dan pertengahan. Sedangkan
pemetaan fenomena dunia tafsir al-Quran di era kontemporer lebih tepat diurai
dengan pendekatan corak konseptual. Di era kontemporer ini, seluruh corak
tafsir baik dari masa awal dan pertengahan memuara: hadir dan eksis
bersama-sama di gelanggang panggung ilmu keislaman kontemporer. Berakhirnya
masa tafsir awal dan pertengahan, tidak menandakan berakhirnya corak tafsir
yang muncul di masa-masa itu. Bersama model-model tafsir terkini, corak dan
model tafsir awal dan pertengahan masing-masing mendapatkan segmen pembacanya.
Dengan menggunakan dua pendekatan sekaligus:
pendekatan historis kronologis dan pendekatan orientasi metode-konseptual, perkembangan
sejarah dan kecenderungan tafsir al-Quran dapat digambarkan lebih komprehensif.
[1] Sejarah peradaban Islam sendiri,
sebagaimana dilansir Harun Nasution, dibagi tiga: Klasik (650-1250 M),
Pertengahan (1250-1800 M), dan Modern (sejak 1800 M). Periode klasik dibagi
dua: pertama, dari 650-1000 M dengan pertumbuhan dan perkembangan
peradaban dan kedua, 1000-1250 disebut jaman disintegrasi saat kekuasaan
daulah Abbasiah melemah dan berdiri banyak kerajaan kecil. Periode pertengahn
juga dibagi tiga; pertama, 1250-1500 M yang disebut jaman kemunduran
ditandai dengan serangan Jengis Khan dan keturunannya. Pada 1941 M, kekuasaan
muslim di Granada jatuh dan pada 1609 M, Islam lenyap dari tanah Andalusia. Kedua,
1500-1700 M yang dapat disebut masa kejayaan Islam ke II yang diwakili
oleh Turki Utsmani, Safawi, dan Moghul. Ketiga,
1700-1800, kemunduran ketiga kerajaan tersebut yang akhirnya ditandai
pendudukan Napoleon Bonaparte ke Mesir. Lihat Akhmad Taufik dkk, Sejarah
Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Jakarta: RajaGrafindo, 2005, hlm. 5-8
[2] Karena itu, ‘kini’ yang lampau
disebut modern. Sedangkan ‘kini’ yang bergerak terus maju bersama waktu disebut
kontemporer (mu`âshirah). Persoalannya, kata ‘modern’ (hadatsah)
sendiri tidak pasti kapan penggalan waktunya dan harus mengikuti momen di
wilayah yang mana. Namun, untuk konteks keilmuan Islam, bila memang harus
menandainya dapat saja merujuk pada fenomena sosio-kultur dan pemikiran
kebangkitan Arab. Kenapa Arab, karena perkembangan keilmuan keislaman mendapat
pengaruh sangat besar dari kawasan tersebut. Sejarah modern Arab dimulai pada
tahun 1789 M (sebagaimana teori Albert Hourani) saat Napoleon Bonaparte
menginvasi Mesir (kala kemunduran Turki Utsmani) dan membawa konsep perubahan
ke dalam tatanan masyarakat Mesir yang kemudian menyebar ke berbagai kawasan
muslim lainnya. Pada saat itu kekuatan dan kekuasaan Turki Utsmani melemah.
Kekuatan kolonial Prancis, Inggris, Austria, Rusia dan negara Barat lainnya
mengambil alih pengelolaan kawasan-kawasan ‘sakit’ wilayah Turki Utsmani.
Sentimen perubahan umat Islam digerakkan oleh Jamaludin al-Afghani (1839-1897
M) dan Muhammad Abduh (1849-1905) melalui slogan Pan-Islam. Albert Hourani, menurut
Luthfie Assyaukanie, meyakini bahwa sejarah kebangkitan Arab bukan dari mulai
dari pembaruan administrasi Utsmaniyah pada 1789 M ataupula gerakan puritanisme
Muhammad Ibn Wahhab (1701-1793 M) dari Nejd sebagaimana sinyalemen Philip K.
Hitti. Sedangkan masa kontemporer dianggap oleh sebagian pemikir Arab bermula
sejak kekalahan negara-negara Arab dari Israel pada tahun 1967. Lihat A.Luthfie
Assyaukanie, Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer, Jurnal Paramadina
Vol. 1 No.1 Juli-Desember, hlm. 61 dan Luthfie Assyaukanie dalam
pengantar buku Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, terj.
Suparno dkk, Bandung: Mizan, 2004, hlm. Xvii. Juga lihat Philip K. Hitti, History
of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta:
Serambi, 2006, hlm. 915 dan 948
Tidak ada komentar:
Posting Komentar