Jumat, 31 Januari 2014

SEJARAH TAFSIR AL-QURAN II: PERIODEISASI TAFSIR


Oleh Syukron Affani

Periodeisasi Penafsiran
(Marâhil al-Tafsîr)

Secara umum periodeisasi tafsir al-Quran dibagi ke dalam 3 (tiga) kluster: klasik, pertengahan, dan kontemporer. Pembabakan tafsir ke dalam tiga kluster ini memudahkan dan untuk sementara memadai.[1] Memudahkan karena sederhana dalam menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan tafsir meskipun sesungguhnya waktu dan realitas tidak sesederhana pembagian awal, tengah, dan akhir. Namun untuk sementara memadai sebagai bahan kajian awal.
Pada tahapan lebih lanjut, pembabakan tersebut memerlukan pemikiran kembali mengingat apa yang disebut dengan babakan kontemporer dapat memanjang mengiringi ‘kekinian’. Tanda waktu yang kita sebut ‘saat ini’ atau ‘sekarang’ dan mulai kita beri tanda dengan istilah ‘kontemporer’ akan segera lampau dan tidak kontemporer lagi. Akumulasi “sekarang” yang melampau ini akan kita kategorikan ke dalam kelompok waktu pertengahan atau tetap kita rangkul dalam kekontemporeran? Problem nomenklatur akan mewarnai penandaan-penamaan bagi klasifikasi sejarah perkembangan tafsir al-Quran berikutnya.[2]
Oleh karena itu, beberapa pakar sejarah tafsir al-Quran menggunakan pendekatan historis-periodik sekaligus pendekatan filosofis konseptual dalam menguraikan perkembangan tafsir. Pendekatan historis-periodik efektif menggambarkan fenomena perkembangan tafsir masa awal dan pertengahan. Sedangkan pemetaan fenomena dunia tafsir al-Quran di era kontemporer lebih tepat diurai dengan pendekatan corak konseptual. Di era kontemporer ini, seluruh corak tafsir baik dari masa awal dan pertengahan memuara: hadir dan eksis bersama-sama di gelanggang panggung ilmu keislaman kontemporer. Berakhirnya masa tafsir awal dan pertengahan, tidak menandakan berakhirnya corak tafsir yang muncul di masa-masa itu. Bersama model-model tafsir terkini, corak dan model tafsir awal dan pertengahan masing-masing mendapatkan segmen pembacanya.
Dengan menggunakan dua pendekatan sekaligus: pendekatan historis kronologis dan pendekatan orientasi metode-konseptual, perkembangan sejarah dan kecenderungan tafsir al-Quran dapat digambarkan lebih komprehensif.


[1] Sejarah peradaban Islam sendiri, sebagaimana dilansir Harun Nasution, dibagi tiga: Klasik (650-1250 M), Pertengahan (1250-1800 M), dan Modern (sejak 1800 M). Periode klasik dibagi dua: pertama, dari 650-1000 M dengan pertumbuhan dan perkembangan peradaban dan kedua, 1000-1250 disebut jaman disintegrasi saat kekuasaan daulah Abbasiah melemah dan berdiri banyak kerajaan kecil. Periode pertengahn juga dibagi tiga; pertama, 1250-1500 M yang disebut jaman kemunduran ditandai dengan serangan Jengis Khan dan keturunannya. Pada 1941 M, kekuasaan muslim di Granada jatuh dan pada 1609 M, Islam lenyap dari tanah Andalusia. Kedua, 1500-1700 M yang dapat disebut masa kejayaan Islam ke II yang diwakili oleh  Turki Utsmani, Safawi, dan Moghul. Ketiga, 1700-1800, kemunduran ketiga kerajaan tersebut yang akhirnya ditandai pendudukan Napoleon Bonaparte ke Mesir. Lihat Akhmad Taufik dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Jakarta: RajaGrafindo, 2005, hlm. 5-8
[2] Karena itu, ‘kini’ yang lampau disebut modern. Sedangkan ‘kini’ yang bergerak terus maju bersama waktu disebut kontemporer (mu`âshirah). Persoalannya, kata ‘modern’ (hadatsah) sendiri tidak pasti kapan penggalan waktunya dan harus mengikuti momen di wilayah yang mana. Namun, untuk konteks keilmuan Islam, bila memang harus menandainya dapat saja merujuk pada fenomena sosio-kultur dan pemikiran kebangkitan Arab. Kenapa Arab, karena perkembangan keilmuan keislaman mendapat pengaruh sangat besar dari kawasan tersebut. Sejarah modern Arab dimulai pada tahun 1789 M (sebagaimana teori Albert Hourani) saat Napoleon Bonaparte menginvasi Mesir (kala kemunduran Turki Utsmani) dan membawa konsep perubahan ke dalam tatanan masyarakat Mesir yang kemudian menyebar ke berbagai kawasan muslim lainnya. Pada saat itu kekuatan dan kekuasaan Turki Utsmani melemah. Kekuatan kolonial Prancis, Inggris, Austria, Rusia dan negara Barat lainnya mengambil alih pengelolaan kawasan-kawasan ‘sakit’ wilayah Turki Utsmani. Sentimen perubahan umat Islam digerakkan oleh Jamaludin al-Afghani (1839-1897 M) dan Muhammad Abduh (1849-1905) melalui slogan Pan-Islam. Albert Hourani, menurut Luthfie Assyaukanie, meyakini bahwa sejarah kebangkitan Arab bukan dari mulai dari pembaruan administrasi Utsmaniyah pada 1789 M ataupula gerakan puritanisme Muhammad Ibn Wahhab (1701-1793 M) dari Nejd sebagaimana sinyalemen Philip K. Hitti. Sedangkan masa kontemporer dianggap oleh sebagian pemikir Arab bermula sejak kekalahan negara-negara Arab dari Israel pada tahun 1967. Lihat A.Luthfie Assyaukanie, Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer, Jurnal Paramadina Vol. 1 No.1 Juli-Desember, hlm. 61 dan Luthfie Assyaukanie dalam pengantar buku Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, terj. Suparno dkk, Bandung: Mizan, 2004, hlm. Xvii. Juga lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: Serambi, 2006, hlm. 915 dan 948

Tidak ada komentar:

Posting Komentar