Jumat, 10 Mei 2013

TAFSIR MARÂH LABÎD KARYA SYEIKH NAWAWI AL-BANTANI: TRADISIONALISME DAN MODERATISME DALAM WARISAN PEMIKIRAN TOKOH TAFSIR NUSANTARA



Oleh Syukron Affani


Syeikh Nawawi hidup di masa ketika semangat pembaharuan Islam bergema di kawasan Timur Tengah, terutama Mesir. Ia hidup sejaman dengan tokoh garda depan gerakan Pan-Islamisme (al-Wihdah al-Islamiyah)[1] Jamaluddin al-Afghani (lahir 1839 M), Muhammad Abduh (lahir 1349 M), dan tokoh pembaharuan yang lain, Rifaah Badawi Rafi' al-Tahtawi (1801-1873 M). Propaganda gerakan pembaharuan tokoh-tokoh tersebut bergaung ke seluruh dunia muslim dan mendapatkan momentum di negara muslim yang sedang bergulat dengan kolonialisasi Barat dan pengaruhnya.
Syeikh Nawawi merupakan putera Banten keturunan Sultan Hasanudin yang kesebelas. Seperti umumnya rakyat Indonesia dan keturunan keluarga kerajaan Banten, Syeikh Nawawi al-Jawi adalah seorang yang anti penjajah. Semangatnya mendalami agama ia cita-citakan untuk membantu perlawanan rakyat terhadap penjajah kala itu. Hanya suratan takdir yang membuatnya ''terdampar'' di tanah suci Mekah dan malah menjadi ulama tersohor di sana.
Meskipun Syeikh Nawawi al-Jawi berasal dari Indonesia namun karyanya yang tidak sedikit, diakui dan memberi pengaruh terhadap perkembangan Islam, tidak saja di Asia Tenggara (khususnya Indonesia) melainkan juga di Timur Tengah dan belahan dunia Islam lainnya. Salah satu karya besarnya yang dapat dijumpai saat ini adalah tafsir Marâh Labîd. Karyanya ini masih digunakan di pesantren-pesantren di Indonesia hingga saat ini, misal di Madrasah Ma'had 'Aly Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta.
Tafsir Marâh Labîd atau dikenal juga dengan nama Tafsir Munir merupakan tafsir al-Quran yang style-nya mirip tafsir Jalâlain; campuran antara model tafsir bi ma'tsur dan bi al-ra'y. Tafsir karya Syeikh Nawawi al-Jawi tersebut memiliki corak tafsir periode pertengahan (afirmasi) yang memberikan penjelasan secara global dan pendek-pendek dari ayat ke ayat secara numerik dan sesekali mengupas i'rab lafal ayat. Tafsir tersebut belum mendapatkan pengaruh model penafsiran tematik-kontemporer yang dipelopori oleh murid dan kawan Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh.
Hal itu dapat dimaklumi karena Syeikh Nawawi hidup dan berkembang di kawasan yang meskipun kosmopolit tetapi kental dengan semangat Islam yang ortodoks. Di samping itu, masa hidup Syeikh Nawawi adalah masa di mana tafsir tradisional model pertengahan masih dalam momentum penafsiran yang dianut mayoritas umat Islam. Terlepas dari itu semua, karya tafsir Syeikh Nawawi al-Bantani diakui oleh ahli tafsir di Indonesia sebagai karya tafsir yang menempati posisi penting dalam sejarah tafsir al-Quran di dunia Melayu-Indonesia setelah Turjuman al-Mustafîd (tafsir lengkap al-Quran pertama dalam bahasa Melayu) karya Abdul Rauf al-Singkili, yang ditulis sekitar tahun 1675 M.[2]
Selengkapnya pece' e:file dan mantra.


[1]Pan-Islamisme merupakan ideologi yang mulai marak pada tahun 1860-1870. Sultan Utsmani Abdul Aziz dan penerusnya, Abdul Hamid II yang semula memiliki proyek ''imperialisme'' terselubungnya ini. Pan-Islamisme ini dengan bertujuan untuk menyatukan seluruh umat Islam di dunia di bawah kepemimpinan kekhalifahan Turki Utsmani dari kekuatan Rusia yang kala itu mampu memaksa imperium Utsmani bernegosiasi. Mekkah kala itu termasuk daerah yang berada dalam kekuasaan imperium Utsmani. Pan-Islamisme yang diusung Jamaluddin al-Afghani juga bertujuan menyatukan umat Islam dalam suatu wadah solidaritas ummah. Namun, ia tidak mengusung semangat ini untuk kepentingan politik Turki Utsmani. Albert Hourani, Pemikir Liberal di Dunia Arab, terj. Suparno dkk, (Mizan:Bandung, 2004), hlm. 165-175
[2] Azyumardi Azra dalam kata pengantar buku Asep Muhammad Iqbal, Yahudi dan Nasrani dalam al-Quran: Hubungan antar Agama menurut Syeikh Nawawi Banten, (Teraju:Jakarta, 2004), hlm. xxiii

Tidak ada komentar:

Posting Komentar