Rabu, 01 Mei 2013

PENDIDIKAN YANG MENCERAHKAN



Oleh Syukron Affani


PENDAHULUAN
Rasulullah Muhammad diutus ke muka bumi untuk menyadarkan manusia terhadap kemuliaannya. Tindak tanduk kebanyakan masyarakat Arabia saat  itu mengabaikan tata moral, sosial, dan keagamaan. Inilah yang disebut situasi al-jâhil (atau dalam bahasa populer umat Islam: jahiliyah), yang dipahami dengan keadaan tidak menyadari kemuliaan diri sebagai manusia.  Istilah al-jâhil disini bukan lawan kata al-‘âlim akan tetapi lawan kata dari al-hâlim. Demikian karena sejatinya masyarakat Arab pada saat Rasulullah diturunkan adalah masyarakat yang berpengetahuan bahkan tradisi pengetahuan mereka tergolong mewah yaitu sastra.
Festival Dzul Majaz dan Mujanna yang digelar tiap tahun di kota Mekkah adalah even ekspo ekonomi sekaligus parade sastra puitik yang diikuti dan didatangi oleh orang-orang dari segenap penjuru jazirah Arab. Meski demikian, tradisi pengetahuan mereka tersebut tidak berbanding lurus dengan nilai-nilai luhur agama dan kemanusiaan. Masyarakat Arab kala itu memang berpengetahuan (al-‘âlim) tetapi mereka tidak terdidik (al-hâlim) dengan tata keagamaan dan tatanilai akhlak yang baik (al-akhlâq al-karîmah). Model masyarakat ini hanya menonjolkan aspek lahiriah-material dan mengabaikan unsur batiniah-spritual.

PENDIDIKAN IDEAL
Periode jahiliah ditandai dengan pemberhalaan-pemberhalaan (paganisme) kepada banyak sekali tuhan palsu dan periode Islam ditandai dengan pembebasan harkat-martabat manusia dari pemberhalaan yang konyol itu menuju pengesaan kepada Dzat Yang Sejati yaitu Allah SWT. Islam mendidik manusia untuk membebaskan diri dari kepalsuan menuju kesejatian dan kejatidirian yang azali: hanya tunduk menyembah kepadaNya (al-tauhîd) dan berbuat baik kepada sebanyak-banyaknya sesama makhluk (al-îmân bi Allah wa al-a’mâl al-shâlihât).
Saat ini rasanya kepalsuan-kepalsuan hadir kembali dan menjadi berhala bagi banyak orang: uang wa akhawatuhu. Kehidupan modern menempatkan kemewahan material baik secara terang-terangan atau tersamar telah menjadi tuhan berhala dan menggeser Allah SWT. Tuntutan keadaan modern yang menggempur kesadaran tiap orang untuk memiliki semua aksesoris hidup mulai dari rumah terkini, kendaraan beroda empat terbaru, computer canggih, telepon seluler paling smart, dan gaya konsumsi cepat saji, menjadi impian mematikan bagi kebanyakan orang. Prinsip hidup bukan lagi need (karena butuh) tetapi want (karena ingin). Celakanya want diposisikan sedemikan rupa dalam kondisi need melalui visualisasi citra dan iklan. Dan korbannya adalah individu yang gagal dididik.
Manusia yang terdidik dapat memilah dan memilih apa yang baik bagi kehidupannya. Manusia terdidik mampu menempatkan dirinya secara efektif, efisien, fungsional, dan sederhana ditengah belantara kemubaziran bendawi. Ia dapat mengontrol hasrat dirinya terhadap jaman bukan jaman yang mengontrol dirinya dan menjerumuskannya dalam hedonism (kehura-huraan dan kesia-siaan). Keadaan ini dapat melempar kita ke masa 14 abad lalu yang gelap yang kita kutuk sebagai masa jahiliah.
Pendidikan sendiri memiliki tujuan mendewasakan manusia dalam memahami hidup dan kehidupan. Jelas bahwa pendidikan berhubungan dengan pembentukan karakter manusia. Dengan pendidikan, manusia harus dapat menegaskan eksistensi kemanusiaannya. Pernyataan ini penting di saat orientasi pendidikan saat ini adalah pendidikan industrial. Yaitu pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan dan keperluan dunia kerja saat ini. Pendidikan ini menghasilkan out put bermental buruh dan tidak lebih mirip sebagai lembaga ‘penyalur tenaga kerja’. Pendidikan yang melayani kepentingan tuan industri adalah pendidikan yang bermasalah dengan pertanyaan ‘makan apa besok?’. Padahal yang seharusnya dipikirkan agendanya adalah pertanyaan ‘memberi manfaat apa kelak?’. Tidak banyak harapan yang dapat dilabuhkan melalui pendidikan yang orientasinya melulu kerja ini karena manusia dipandang sebagai sesuatu yang mekanis daripada sebagai sesuatu yang dinamis dan kreatif.
Pendidikan sejati harus mampu menyadarkan setiap individu manusia bahwa manusia memiliki kodrat yang berimbang antara kehidupan materi dan ruhaninya; kehidupan horizontal dan vertikal yang dalam bahasa agama kita disebut al-habl min al-nas dan al-habl min Allah. Idealisasi pendidikan harus bergerak dalam dua pendulum ini. Pendidikan yang ideal tidak sekedar memperhatikan kesiapan kognisi dan psikotomori anak didik untuk berkompetisi menghadapi tantangan jaman yang semangatnya kini sudah cenderung jahiliah ini. Aspek afeksi yang bersifat batiniyah dan spiritual harus mendapatkan porsi yang serius. Terlalu fokus pada aspek material hanya memberi tanda baik bagi kehidupan jahiliyah dan bila terlalu fokus pada aspek moral-spritual hanya akan menegaskan keadaan umat Islam sebagai penonton abadi kemajuan peradaban dunia.

PENDIDIKAN MODERAT DAN DINAMIS
Berada di antara dua kutub materi dan spiritual-moral merupakan sikap yang harus ambil oleh para stakeholder pendidikan. Titik seimbang antara pendidikan guna mengasah kemampuan lahiriah dan kebijaksanaan batiniyah dibutuhkan oleh generasi bangsa dalam mengarungi jaman yang mengikis seluruh daya moral spiritual ke dalam kubangan kepuasan materi yang semu ini. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kemajuan peradaban material yang telah dicapai dengan mengagumkan. Koreksi diri (muhâsabah ‘ala al-nafs) harus segera diupayakan ketika cara pandang manusia salah dalam memaknai kemajuan tersebut.
Pendidikan saat ini harus mampu menumbuhkembangkan kesadaran setiap insan terhadap martabat kemanusiaan lebih diatas semua hal yang bersifat material dan tunduk kepada Tuhan yang transendental. Inilah yang akan kita sebut dengan pendidikan moderat (tawâsuth) sehingga dengan demikian, dunia pendidikan dapat tetap mengawal gerak jaman dalam jalur shirat al-mustaqîm, tidak ekstrem ke kanan dan tidak ekstrem ke kiri tetapi bergerak lurus ditengah (al-taswîth) dalam cahaya hidayah Allah SWT.
Moderatisme pendidikan memungkin dunia pendidikan mencetak insan-insan terdidik yang par excellent dinamis karena tidak melulu terkungkung dalam satu arasy. Gabungan antara kesadaran fungsional materi dan kesadaran kebutuhan serta tuntunan moral-spritual akan menciptakan pribadi-pribadi terdidik yang utuh. Dinamisasi pendidikan dan produk-produknya harus secara ideal berada dalam domain ini. Masyarakat yang dinamis adalah masyarakat yang dididik untuk memahami makna dinamis dalam pancaran risalah tauhid. Dinamika yang berkembang dengan semangat tauhid merupakan dinamika sejati. Sementara dinamika yang berasaskan pada nilai-nilai materialistik merupakan dinamika virtual (semu) yang akan menyisakan banyak ruang hampa dalam eksistensi manusia dan menjadikan manusia sebagai budak-budak keduniaan.

PENUTUP
Kesadaran manusia terhadap makna penting pendidikan harus disandarkan kepada tujuan sublim kemanusiaan. Dalam Islam, tujuan itu ialah amal saleh yang dibangun diatas keyakinan kokoh kepada Allah SWT. Pendidikan yang menempatkan harta dan tahta sebagai sasarannya telah mereduksi manusia tidak lebih sebagai benda. Manusia bukan benda tetapi makhluk dinamis yang melampaui seluruh logika kebendaan. Manusia yang moderat dan dinamis tidak mengabdi pada angka dan logika deret ukurnya. Manusia yang dididik dengan pendidikan tawâsuth dan dinamis tidak memandang angka sebagai satu-satunya indikator kehidupan melainkan menempatkan proses untuk menjadi manusia berakhlak karimah seutuhnya sebagai ukuran kesuksesan.
Amanat konstitusi UUD ‘45 kita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan amanat pokok kepada segenap penggiat peradaban termasuk penggiat pendidikan. Semangat konstitusi ini merupakan semangat anti jahiliyah dalam pengertian sebagaimana diungkapkan sebelumnya. Perhatian pemerintah untuk memberikan jalan kemudahan bagi dunia pendidikan berupa fasilitas dan insentif harus disikapi secara arif dan bijak. Mari kita rayakan dan meriahkan dunia pendidikan dengan menyadarkan manusia terhadap kemanusiaannya, menuhankan Tuhan yang sesungguhnya, memposisikan kemewahan benda sebagaimana sifat kebendaannya, dan memperlakukan alam lingkungan seperti digariskanNya. Wallahu a`lam

Bahan bacaan:
Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Pendidikan, Usaha Nasional: Surabaya, 1981
Yasraf Amir Piliang, Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Jalasutra: Yogyakarta, 2004
Siti Maryam (ed.), Sejarah Peradaban Islam: Dari Masa Klasik Hingga Modern, LESFI: Yogyakarta, 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar