Oleh Syukron Affani
PENDAHULUAN
Rasulullah Muhammad diutus ke
muka bumi untuk menyadarkan manusia terhadap kemuliaannya. Tindak tanduk
kebanyakan masyarakat Arabia saat itu
mengabaikan tata moral, sosial, dan keagamaan. Inilah yang disebut situasi al-jâhil
(atau dalam bahasa populer umat Islam: jahiliyah), yang dipahami dengan
keadaan tidak menyadari kemuliaan diri sebagai manusia. Istilah al-jâhil disini bukan lawan
kata al-‘âlim akan tetapi lawan kata dari al-hâlim. Demikian
karena sejatinya masyarakat Arab pada saat Rasulullah diturunkan adalah
masyarakat yang berpengetahuan bahkan tradisi pengetahuan mereka tergolong
mewah yaitu sastra.
Festival Dzul Majaz dan Mujanna
yang digelar tiap tahun di kota Mekkah adalah even ekspo ekonomi sekaligus
parade sastra puitik yang diikuti dan didatangi oleh orang-orang dari segenap
penjuru jazirah Arab. Meski demikian, tradisi pengetahuan mereka tersebut tidak
berbanding lurus dengan nilai-nilai luhur agama dan kemanusiaan. Masyarakat
Arab kala itu memang berpengetahuan (al-‘âlim) tetapi mereka tidak
terdidik (al-hâlim) dengan tata keagamaan dan tatanilai akhlak yang baik
(al-akhlâq al-karîmah). Model masyarakat ini hanya menonjolkan aspek
lahiriah-material dan mengabaikan unsur batiniah-spritual.
PENDIDIKAN
IDEAL
Periode jahiliah ditandai dengan
pemberhalaan-pemberhalaan (paganisme) kepada banyak sekali tuhan palsu
dan periode Islam ditandai dengan pembebasan harkat-martabat manusia dari
pemberhalaan yang konyol itu menuju pengesaan kepada Dzat Yang Sejati yaitu
Allah SWT. Islam mendidik manusia untuk membebaskan diri dari kepalsuan menuju
kesejatian dan kejatidirian yang azali: hanya tunduk menyembah kepadaNya (al-tauhîd)
dan berbuat baik kepada sebanyak-banyaknya sesama makhluk (al-îmân bi Allah
wa al-a’mâl al-shâlihât).
Saat ini rasanya
kepalsuan-kepalsuan hadir kembali dan menjadi berhala bagi banyak orang: uang wa
akhawatuhu. Kehidupan modern menempatkan kemewahan material baik secara
terang-terangan atau tersamar telah menjadi tuhan berhala dan menggeser Allah
SWT. Tuntutan keadaan modern yang menggempur kesadaran tiap orang untuk
memiliki semua aksesoris hidup mulai dari rumah terkini, kendaraan beroda empat
terbaru, computer canggih, telepon seluler paling smart, dan gaya konsumsi
cepat saji, menjadi impian mematikan bagi kebanyakan orang. Prinsip hidup bukan
lagi need (karena butuh) tetapi want (karena ingin). Celakanya want
diposisikan sedemikan rupa dalam kondisi need melalui visualisasi
citra dan iklan. Dan korbannya adalah individu yang gagal dididik.
Manusia yang terdidik dapat
memilah dan memilih apa yang baik bagi kehidupannya. Manusia terdidik mampu
menempatkan dirinya secara efektif, efisien, fungsional, dan sederhana ditengah
belantara kemubaziran bendawi. Ia dapat mengontrol hasrat dirinya terhadap
jaman bukan jaman yang mengontrol dirinya dan menjerumuskannya dalam hedonism
(kehura-huraan dan kesia-siaan). Keadaan ini dapat melempar kita ke masa 14
abad lalu yang gelap yang kita kutuk sebagai masa jahiliah.
Pendidikan sendiri memiliki
tujuan mendewasakan manusia dalam memahami hidup dan kehidupan. Jelas bahwa
pendidikan berhubungan dengan pembentukan karakter manusia. Dengan pendidikan,
manusia harus dapat menegaskan eksistensi kemanusiaannya. Pernyataan ini
penting di saat orientasi pendidikan saat ini adalah pendidikan industrial.
Yaitu pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan dan keperluan dunia kerja
saat ini. Pendidikan ini menghasilkan out put bermental buruh dan tidak
lebih mirip sebagai lembaga ‘penyalur tenaga kerja’. Pendidikan yang melayani
kepentingan tuan industri adalah pendidikan yang bermasalah dengan pertanyaan
‘makan apa besok?’. Padahal yang seharusnya dipikirkan agendanya adalah
pertanyaan ‘memberi manfaat apa kelak?’. Tidak banyak harapan yang dapat
dilabuhkan melalui pendidikan yang orientasinya melulu kerja ini karena
manusia dipandang sebagai sesuatu yang mekanis daripada sebagai sesuatu yang
dinamis dan kreatif.
Pendidikan sejati harus mampu
menyadarkan setiap individu manusia bahwa manusia memiliki kodrat yang
berimbang antara kehidupan materi dan ruhaninya; kehidupan horizontal dan
vertikal yang dalam bahasa agama kita disebut al-habl min al-nas dan al-habl
min Allah. Idealisasi pendidikan harus bergerak dalam dua pendulum ini. Pendidikan
yang ideal tidak sekedar memperhatikan kesiapan kognisi dan psikotomori anak
didik untuk berkompetisi menghadapi tantangan jaman yang semangatnya kini sudah
cenderung jahiliah ini. Aspek afeksi yang bersifat batiniyah dan spiritual
harus mendapatkan porsi yang serius. Terlalu fokus pada aspek material hanya
memberi tanda baik bagi kehidupan jahiliyah dan bila terlalu fokus pada aspek
moral-spritual hanya akan menegaskan keadaan umat Islam sebagai penonton abadi
kemajuan peradaban dunia.
PENDIDIKAN MODERAT DAN DINAMIS
Berada di antara dua kutub materi
dan spiritual-moral merupakan sikap yang harus ambil oleh para stakeholder
pendidikan. Titik seimbang antara pendidikan guna mengasah kemampuan lahiriah
dan kebijaksanaan batiniyah dibutuhkan oleh generasi bangsa dalam mengarungi
jaman yang mengikis seluruh daya moral spiritual ke dalam kubangan kepuasan
materi yang semu ini. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kemajuan peradaban
material yang telah dicapai dengan mengagumkan. Koreksi diri (muhâsabah ‘ala
al-nafs) harus segera diupayakan ketika cara pandang manusia salah dalam
memaknai kemajuan tersebut.
Pendidikan saat ini harus mampu
menumbuhkembangkan kesadaran setiap insan terhadap martabat kemanusiaan lebih
diatas semua hal yang bersifat material dan tunduk kepada Tuhan yang transendental.
Inilah yang akan kita sebut dengan pendidikan moderat (tawâsuth)
sehingga dengan demikian, dunia pendidikan dapat tetap mengawal gerak jaman
dalam jalur shirat al-mustaqîm, tidak ekstrem ke kanan dan tidak ekstrem
ke kiri tetapi bergerak lurus ditengah (al-taswîth) dalam cahaya hidayah
Allah SWT.
Moderatisme pendidikan memungkin
dunia pendidikan mencetak insan-insan terdidik yang par excellent
dinamis karena tidak melulu terkungkung dalam satu arasy. Gabungan
antara kesadaran fungsional materi dan kesadaran kebutuhan serta tuntunan
moral-spritual akan menciptakan pribadi-pribadi terdidik yang utuh. Dinamisasi
pendidikan dan produk-produknya harus secara ideal berada dalam domain ini.
Masyarakat yang dinamis adalah masyarakat yang dididik untuk memahami makna
dinamis dalam pancaran risalah tauhid. Dinamika yang berkembang dengan semangat
tauhid merupakan dinamika sejati. Sementara dinamika yang berasaskan pada
nilai-nilai materialistik merupakan dinamika virtual (semu) yang akan
menyisakan banyak ruang hampa dalam eksistensi manusia dan menjadikan manusia
sebagai budak-budak keduniaan.
PENUTUP
Kesadaran manusia terhadap makna
penting pendidikan harus disandarkan kepada tujuan sublim kemanusiaan. Dalam
Islam, tujuan itu ialah amal saleh yang dibangun diatas keyakinan kokoh kepada
Allah SWT. Pendidikan yang menempatkan harta dan tahta sebagai sasarannya telah
mereduksi manusia tidak lebih sebagai benda. Manusia bukan benda tetapi makhluk
dinamis yang melampaui seluruh logika kebendaan. Manusia yang moderat dan
dinamis tidak mengabdi pada angka dan logika deret ukurnya. Manusia yang
dididik dengan pendidikan tawâsuth dan dinamis tidak memandang angka
sebagai satu-satunya indikator kehidupan melainkan menempatkan proses untuk
menjadi manusia berakhlak karimah seutuhnya sebagai ukuran kesuksesan.
Amanat konstitusi UUD ‘45 kita
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan amanat pokok kepada segenap
penggiat peradaban termasuk penggiat pendidikan. Semangat konstitusi ini
merupakan semangat anti jahiliyah dalam pengertian sebagaimana diungkapkan
sebelumnya. Perhatian pemerintah untuk memberikan jalan kemudahan bagi dunia
pendidikan berupa fasilitas dan insentif harus disikapi secara arif dan bijak.
Mari kita rayakan dan meriahkan dunia pendidikan dengan menyadarkan manusia
terhadap kemanusiaannya, menuhankan Tuhan yang sesungguhnya, memposisikan
kemewahan benda sebagaimana sifat kebendaannya, dan memperlakukan alam
lingkungan seperti digariskanNya. Wallahu a`lam
Bahan bacaan:
Tim Dosen FIP-IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar
Pendidikan, Usaha Nasional: Surabaya, 1981
Yasraf Amir Piliang, Posrealitas: Realitas
Kebudayaan dalam Era Posmetafisika, Jalasutra: Yogyakarta, 2004
Siti Maryam (ed.), Sejarah Peradaban Islam: Dari
Masa Klasik Hingga Modern, LESFI: Yogyakarta, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar