Rabu, 17 April 2013

TEOLOGI PEMBEBASAN DAN VISI TEOLOGI ISLAM


Oleh Syukron Affani
Pendahuluan
Dinamika ide, pemikiran, dan gerakan yang menggelombang dari "dunia luar" sering menyita perhatian dan menghentak umat Islam untuk melakukan refleksi ke dalam. Teologi pembebasan misalnya, yang mencuat di pertengahan akhir abad ini, sempat menjadi bahan bagi gagasan revitalisasi nilai dan ajaran Islam sesuai dengan semangat perjuangan pembaharuan profetik Rasulullah SAW di masa yang lampau. Terlepas bahwa ide, pemikiran, dan gerakan semacam teologi pembebasan tersebut pada akhirnya pasti kehilangan momentum sebagai tema yang trendy, yang terpenting adalah kebutuhan kita umat Islam terhadap dentum-dentum pemikiran yang entah darimana datangnya, dapat menggugah muhasabah kita terhadap vitalitas nilai dan ajaran Islam.
Teologi Pembebasan
Istilah dan pemikiran teologi pembebasan (liberation theology) secara historis muncul dari pergulatan pemikiran dan gerakan sosialis umat Kristiani di Amerika Latin. Gerakan pemikiran ini muncul akibat dinamika internal dan eksternal. Secara internal gerakan ini muncul seiring bangkitnya gairah keagamaan dan keterbukaan terhadap perkembangan sains sosial modern. Sedangkan secara eksternal ia didorong oleh dua situasi: pertama adalah keterbelakangan, ketergantungan, keterpinggiran, ketertindasan dan kemiskinan yang diakibatkan oleh proses massif industrialisasi sejak tahun 1950-an di seluruh benua di bawah cengkeraman modal korporasi multinasional; dan kedua meningkatnya perjuangan sosial-politik melalui kekuatan senjata dan krisis pertarungan ideology demokrasi-liberal kapitalis dan otoriter-sosialis, sejak meletusnya revolusi Kuba tahun 1959. Gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin ini melibatkan sektor-sektor penting gereja (romo, pendeta, uskup), yang merakyat serta kelompok-kelompok basis masyarakat gereja yang menghimpun diri menentang sebab-sebab penghisapan dan penindasan, atas dasar nilai moral dan kerohanian yang diilhami oleh ajaran keagamaan mereka.
Doktrin teologi pembebasan yang disemai dengan semangat kristiani tersebut diantaranya adalah: pertama, menganggap ketergantungan pada kapitalisme adalah dosa struktural. Kedua, penggunaan perspektif pertentangan dan perjuangan kelas ala Marxisme dalam rangka menyemangati gerakan kebangkitan masyarakat miskin. Ketiga, kebebasan dan kesempatan setara bagi masyarakat miskin dalam segala bidang. Keempat, membangun komunalitas keagamaan di kalangan orang-orang miskin sebagai perlawanan terhadap cara hidup individualis yang dipromosikan kapitalisme. Kelima, reformulasi tafsir Kitab Suci yang berpihak kepada rakyat tertindas. Keenam, perlawanan terhadap musuh utama agama yaitu permberhalaan terhadap "tuhan-tuhan" baru: uang, kekayaan, kekuasaan, negara, dan peradaban Barat. Ketujuh, pembebasan manusia dari penjajahan antar sesama adalah jalan akhir keselamatan dunia.
Doktrin revolutif teologi pembebasan di atas menarik karena aktivis-aktivis Kristen mengadopsi pandangan Marx (yang sinis terhadap agama) tentang perjuangan kelas (tertindas vs penindas). Tentu saja tidak semua pemuka Kristen terutama yang berhaluan konservatif-ortodoks, dapat menerima pandangan tersebut. Selain karena alasan Marxisme sebagai salah satu landasan ideologis, juga karena mereka merasa terancam kehilangan hak-hak istimewa sosial yang selama ini didapat dari posisinya sebagai agamawan. Dalam perjalanannya, teologi pembebasan sarat dengan kritik karena menjadikan senjata (kekerasan) sebagai salah satu opsi utama perjuangan mereka.

Visi Teologi Islam: al-Tauhid
Kebebasan dalam Islam adalah bila antar elemen masyarakat dapat saling menghormati, menghargai, dan berbagi sebagai satu entitas yang sama yaitu makhluk Allah Yang Mahatunggal. Sikap-sikap mulia ini hanya dapat terwujud dalam masyarakat yang menyadari keterbatasannya sebagai manusia; dan oleh karena itu, memiliki tata dan tatanan moral-mental-spiritual yang mengakomodasi nilai-nilai tasamuh (toleransi), musawah (persamaan), ta'adul (keadilan) bagi sesama. Kebebasan dalam Islam berbentuk persamaan posisi setiap insan untuk mendapatkan dan memberikan kebaikan dengan tanggungjawab yang sama kepada-Nya.
Pada mula kehadiran Islam, misi pembebasan langsung dilancarkan. Yaitu, membebaskan manusia dari cengkeraman cara berpikir dan tradisi keagamaan (paganism), sosial (patriarkhi absolut dan tribalisme fanatik), budaya (nomad primitif), seni kesusastraan (sastra personal yang sibuk dengan urusan kecantikan wanita, minuman keras, dan materi), dan ekonomi (borjuasi kapital). Gerakan pembebasan Islam bukanlah membebaskan yang satu untuk dapat menindas yang lain melainkan membebaskan dan menggiring semuanya menuju ketundukan dan kepasrahan tunggal kepada Dzat Yang Serba Tunggal: ALLAH, Sang Mutlak. Dengan hanya otoritas yang tunggal ini (al-tauhid), Islam tidak menginginkan ada otoritas lain yang merasa berhak mensubordinasi yang lain. Islam sangat keras mengecam dan mengancam klaim-klaim otoritas (al-syirk) di luar otoritas sejati (Allah). Karena dari klaim-klaim itulah sejarah penderitaan penindasan antar sesama manusia berlangsung.
Keistimewaan bagi manusia hanya dapat diraih (secara relatif) melalui ketakwaan Q.S al-Hujurat 49:13
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Melalui mekanisme sebagaimana dilansir dalam Q.S 2:3
1. Alif laam miin.2. Kitab(Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, 3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Ketakwaan mengidealkan tauhid dalam al-iman bi ghaib (keyakinan metafisis non-materi kepada Allah Yang Ghaib) yang berkorelasi dengan implementasi keimanan berupa iqamah al-sholah dan al-ihsan (perbuatan baik kepada sesama) melalui distribusi kekayaan. Itulah yang tercermin dengan jelas dari ayat-ayat mengenai perintah sholat yang senantiasa (secara paradigmatik) bergandengan dengan perintah berzakat.[1] Islam memberikan perhatian serius kepada yang tidak berdaya dengan mengendalikan orang-orang kaya dan berkuasa melalui mekanisme ihsan dan zakat. Islam tidak berpretensi menjadikan semua orang berlimpah materi dan kekuasaan karena yang demikian disamping mustahil, Islam menekankan makna kebahagiaan dan kemakmuran pada rasa syukur yang bersifat immaterial.
Perjuangan dakwah Rasulullah berorientasi memperbaiki landasan moral dan mental (al-hilm); serta membebaskan manusia dari belenggu-belenggu moral hazard (al-jahil) menuju penyerahan absolut (al-tauhid) kepada Yang Maha Mutlak dan Yang Maha Bijaksana (al-Hakim al-Halim). Rasulullah tidak mempersoalkan siapa kaya-siapa miskin; siapa yang berkuasa dan siapa yang dikuasai selama tidak ada kesewenang-wenangan. Salah satu predikat Rasulullah sebagai sayyid al-masakin (pelindung orang-orang miskin) merupakan rekaman sejarah terhadap sikap keberpihakan Rasulullah terhadap pihak-pihak tak berdaya yang potensial menjadi korban kesewenang-wenangan.
Penutup
Sejarah penguasaan dan penaklukan antara yang satu dengan yang lain adalah setua sejarah itu sendiri. Mereka yang dikuasai dan seringkali terampas hak-haknya berjuang melepaskan diri dari penguasaan. Alat perjuangannya beragam, termasuk menggunakan semangat keagamaan atau justru dengan mencampakkannya. Celakanya, keberhasilan membebaskan diri dari penguasaan itu justru menjerumuskan mereka menjadi penguasa-penguasa baru dengan sifat-sifat yang tak berbeda: menindih dan menindas.
Agama sendiri sesungguhnya efektif sebagai pegangan bagi orang yang merasa dirinya terbatas dan tidak berdaya. Yang paling sering diposisi tersebut adalah orang miskin, individu atau masyarakat yang hak-haknya dikebiri, rakyat yang tidak memiliki akses terhadap kekuasaan dan selalu diperlakukan tidak adil, dan orang-orang dengan pendidikan tertinggal. Dalam agama mereka melabuhkan diri dan berharap kepada Yang Takterbatas dan Yang Mahaberdaya. Dengan kekuatan suprematifnya, nilai-nilai agama memberikan pertahanan moral, mental, spiritual, dan optimisme kepada mereka dari tekanan-tekanan ketidakberdayaan dan rasa keterbatasan tersebut. Dari sisi ini, nilai ajaran agama telah memberikan modal penting bagi manusia untuk bangkit dari keterpurukannya.
Pemegang otoritas keagamaan (agamawan, rohaniawan, ulama, ahli agama, dan lembaga-lembaga keagamaan)-lah yang harus bertanggungjawab bila umatnya tetap berkubang di lumpur keterpurukan dan kebodohan. Pengalaman gereja yang mengibiri hak-hak berketuhanan umat Kristiani di masa lalu (terkhusus peran gereja Eropa); yang menjadi akar dari kritik-kritik tajam dan pernyataan-pernyataan kejam (misal, agama adalah candu, Tuhan sudah mati, dan Tuhan adalah ilusi) di Barat, tidak memiliki korelasi yang setara dengan pengalaman keagamaan umat Islam. Maksudnya, umat Islam tidak memiliki kenangan massif yang kelam diperdayai rejim keagamaan sebagaimana Kristen dengan gerejanya. Justru, sedari awal, Islam membebaskan penganutnya berhubungan dengan Allah dengan cara yang sangat elegan tanpa perantara semisal lembaga kegerejaan (dalam Kristen) selama sesuai dengan tuntuntan al-Quran dan Hadis. Keberadaan pemuka agama dalam Islam tidak bersifat hirarkis dan mengikat secara yuridis-teologis. Artinya sedari awal konsep teologis dalam Islam adalah membebaskan namun bertanggungjawab dan bersifat proporsional.
Hand out sederhana dalam kegiatan Pelatihan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Pengembangan Intelektual UIM (Universitas Islam Madura) Pamekasan di P.P. Nasyrul Ulum, Bagandan 06 Desember 2010




[1] Q.S al-Baqarah 2:3; 2:43; 2:177; 2:83; 2:110; 2:277; al-Nisa' 4:77; 4:162; al-Maidah 5:12; 5:55; al-Anfal 8:3 dan seterusnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar