Oleh Syukron Affani
JaQ
Anak-anak
terlantar semestinya diurus dengan baik oleh negara. Demikian seharusnya tetapi
bila negaranya seperti Indonesia
yang persoalannya menumpuk tumpang-tindih karena ulah orang-orang tua, semakin
tak jelas saja nasib mereka. Negara sibuk menghabiskan waktu untuk bersiasat
membereskan orang-orang tua tengik negeri ini. Orang-orang tua yang menguras
uang rakyat termasuk hak-hak anak terlantar dijalan-jalan. Belum selesai
mengurus orang-orang tua asusila yang bebal itu, jangan-jangan anak-anak tak
beruntung itu keburu tua untuk menggantikan mereka dengan gaya jalanannya. Sepertinya
negara merasa terlalu tua untuk menangani anak-anak negeri, masa depan bangsa
ini.
Fenomena
anak terlantar atau hidup di jalanan dan dikenal dengan anjal merupakan
fenomena umum di perkotaan terutama kota
besar. Kota
memang menjanjikan sebagai garda perubahan sosial namun ekses kebocoran
sosialnya juga tak kalah menjanjikan. Anak-anak jalanan jelas sekali sebagai
salah satu korban laju gerak kehidupan kota
yang terancam masa depannya. Sayangnya, keberadaan mereka sudah dianggap lumrah
dan tak disentuh selama tidak mengganggu lingkungan. Sekali bertindak
meresahkan, baru dinilai layak sebagai urusan polisi dan Dinas Sosial.
Tak
banyak yang terketuk untuk sungguh-sungguh menangani persoalan anak jalanan
dengan tuntas. Kepedulian terhadap mereka hanya bersifat tentatif dan
karitatif. Hal ini tidak terlepas dari asumsi sosial bahwa keberadaan mereka
bagaimanapun tidak terlepas dari kesalahan individu orang tua yang melahirkan
mereka. Ketidakmampuan menjadi orang tua yang baik dalam menafkahi dan mendidik
anak-anaknya.
Anak-anak
jalanan bagaikan “iklan hidup” problem orang tua yang tidak becus mengurus
anak-anaknya. Iklan yang tayangannya mengharukan tetapi tidak memiliki daya
sugesti untuk memparbaiki nasib anak-anak itu. Iklan yang marak bertebaran
menyaingi papan-papan iklan komersial di sudut-sudut jalanan. Iklan kemalangan
yang jam tayangnya nyaris 24 jam nonstop dan hanya membuat para orang tua semakin
tidak peduli kecuali pada anak-anaknya sendiri. Sungguh ironis.
Penanganan
masalah anak jalanan tidak cukup mengandalkan institusi-institusi yang dianggap
memiliki wewenang untuk menampung mereka. Atau berharap pada individu-individu
negeri untuk peduli terhadap nasib mereka. Upaya sistematis dan kongkrit harus
dipikirkan dan diusahakan untuk membantu anak-anak itu meskipun bangsa ini
sedang tertatih-tatih dengan “agenda-agenda besarnya” untuk keluar dari
keterpurukan.
Semua
harus terlibat terutama pihak-pihak yang dekat dengan kehidupan mereka. Dinas
Sosial dapat memberikan wewenang pada semua kelurahan yang daerahnya menjadi
favorit mangkal anak jalanan untuk terlibat dalam pembinaan mereka.
Kelurahan-kelurahan dan seluruh lapisan pemerintahannya harus diberdayakan
untuk turut proaktif menampung dan membina anak-anak jalanan. Atau setidaknya,
pihak kelurahan memiliki akses untuk berkoordinasi dengan instansi-instansi
terkait. Dengan demikian keberadaan anak jalanan tidak saja menjadi urusan
“pemilik jalan” yaitu pemerintah daerah atau pusat tetapi secara regional juga
beban bagi kelurahan yang bersentuhan langsung dengan kawasan-kawasan “rawan” itu.
Melibatkan
kelurahan dan struktur pemerintahan di bawahnya: dukuh, RT dan RW merupakan
pilihan praktis dan taktis. Sebab kelurahan memiliki kepentingan menjaga
kenyamanan dan keasrian lingkungan daerahnya. Artinya, tingkat kepedulian
masyarakat kelurahan terhadap lingkungannya harus dimanfaatkan secara positif
tidak saja untuk keamanan dan penataan fisik tetapi juga untuk kegiatan sosial
membina anak-anak terlantar dijalanan dikawasannya. Tentu saja ide semacam ini
bukan lantas menjadi peluang bagi Dinas Sosial untuk mengumpankan begitu saja
tanggungjawabnya pada pihak lain. Pembinaan terhadap anak-anak terlantar itu
jelas memerlukan pendanaan dan fasilitas. Dinas Sosial mesti serius membantu pengadaan
dua faktor penting itu.
Dengan
terlibatnya kelurahan kota
turut membina anak-anak jalanan, tugas pemerintah melalui Dinas Sosial dan
lembaga-lembaga sosial untuk anak-anak menjadi lebih terbantu.. Anak-anak malang itu pun, masa depannya tak direnggut jalanan, pasar
dan terminal kota
yang tidak peduli. Dan anak-anak itu, tidak perlu masygul pada orang-orang tua
korup negeri ini yang tega menggarong uang rakyat demi anak-anak biologisnya
sendiri# 2006
Ditulis
Ketika Masih Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab UIN SUKA
Yogyakarta/Mantan Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa Literasia Adab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar