Oleh Syukron Affani
Pendahuluan
Dinamika ide, pemikiran, dan gerakan yang
menggelombang dari "dunia luar" sering menyita perhatian dan
menghentak umat Islam untuk melakukan refleksi ke dalam. Teologi pembebasan misalnya,
yang mencuat di pertengahan akhir abad ini, sempat menjadi bahan bagi gagasan
revitalisasi nilai dan ajaran Islam sesuai dengan semangat perjuangan
pembaharuan profetik Rasulullah SAW di masa yang lampau. Terlepas bahwa ide,
pemikiran, dan gerakan semacam teologi pembebasan tersebut pada akhirnya pasti
kehilangan momentum sebagai tema yang trendy, yang terpenting adalah
kebutuhan kita umat Islam terhadap dentum-dentum pemikiran yang entah darimana
datangnya, dapat menggugah muhasabah kita terhadap vitalitas nilai dan
ajaran Islam.
Teologi Pembebasan
Istilah dan pemikiran teologi
pembebasan (liberation theology) secara historis muncul dari pergulatan
pemikiran dan gerakan sosialis umat Kristiani di Amerika Latin. Gerakan pemikiran
ini muncul akibat dinamika internal dan eksternal. Secara internal gerakan ini
muncul seiring bangkitnya gairah keagamaan dan keterbukaan terhadap
perkembangan sains sosial modern. Sedangkan secara eksternal ia didorong oleh
dua situasi: pertama adalah keterbelakangan, ketergantungan,
keterpinggiran, ketertindasan dan kemiskinan yang diakibatkan oleh proses massif
industrialisasi sejak tahun 1950-an di seluruh benua di bawah cengkeraman modal
korporasi multinasional; dan kedua meningkatnya perjuangan sosial-politik
melalui kekuatan senjata dan krisis pertarungan ideology demokrasi-liberal
kapitalis dan otoriter-sosialis, sejak meletusnya revolusi Kuba tahun 1959. Gerakan
teologi pembebasan di Amerika Latin ini melibatkan sektor-sektor penting gereja
(romo, pendeta, uskup), yang merakyat serta kelompok-kelompok basis masyarakat
gereja yang menghimpun diri menentang sebab-sebab penghisapan dan penindasan,
atas dasar nilai moral dan kerohanian yang diilhami oleh ajaran keagamaan
mereka.
Doktrin teologi pembebasan yang disemai dengan
semangat kristiani tersebut diantaranya adalah: pertama, menganggap
ketergantungan pada kapitalisme adalah dosa struktural. Kedua,
penggunaan perspektif pertentangan dan perjuangan kelas ala Marxisme
dalam rangka menyemangati gerakan kebangkitan masyarakat miskin. Ketiga,
kebebasan dan kesempatan setara bagi masyarakat miskin dalam segala bidang. Keempat,
membangun komunalitas keagamaan di kalangan orang-orang miskin sebagai perlawanan
terhadap cara hidup individualis yang dipromosikan kapitalisme. Kelima, reformulasi
tafsir Kitab Suci yang berpihak kepada rakyat tertindas. Keenam,
perlawanan terhadap musuh utama agama yaitu permberhalaan terhadap
"tuhan-tuhan" baru: uang, kekayaan, kekuasaan, negara, dan peradaban
Barat. Ketujuh, pembebasan manusia dari penjajahan antar sesama adalah jalan
akhir keselamatan dunia.
Doktrin revolutif teologi pembebasan di atas menarik
karena aktivis-aktivis Kristen mengadopsi pandangan Marx (yang sinis terhadap
agama) tentang perjuangan kelas (tertindas vs penindas). Tentu saja tidak semua
pemuka Kristen terutama yang berhaluan konservatif-ortodoks, dapat menerima
pandangan tersebut. Selain karena alasan Marxisme sebagai salah satu landasan
ideologis, juga karena mereka merasa terancam kehilangan hak-hak istimewa
sosial yang selama ini didapat dari posisinya sebagai agamawan. Dalam
perjalanannya, teologi pembebasan sarat dengan kritik karena menjadikan senjata
(kekerasan) sebagai salah satu opsi utama perjuangan mereka.
Visi Teologi Islam:
al-Tauhid
Kebebasan dalam Islam adalah bila antar
elemen masyarakat dapat saling menghormati, menghargai, dan berbagi sebagai
satu entitas yang sama yaitu makhluk Allah Yang Mahatunggal. Sikap-sikap mulia
ini hanya dapat terwujud dalam masyarakat yang menyadari keterbatasannya
sebagai manusia; dan oleh karena itu, memiliki tata dan tatanan
moral-mental-spiritual yang mengakomodasi nilai-nilai tasamuh
(toleransi), musawah (persamaan), ta'adul (keadilan) bagi sesama.
Kebebasan dalam Islam berbentuk persamaan posisi setiap insan untuk mendapatkan
dan memberikan kebaikan dengan tanggungjawab yang sama kepada-Nya.
Pada mula kehadiran Islam, misi pembebasan
langsung dilancarkan. Yaitu, membebaskan manusia dari cengkeraman cara berpikir
dan tradisi keagamaan (paganism), sosial (patriarkhi absolut dan tribalisme
fanatik), budaya (nomad primitif), seni kesusastraan (sastra personal yang
sibuk dengan urusan kecantikan wanita, minuman keras, dan materi), dan ekonomi
(borjuasi kapital). Gerakan pembebasan Islam bukanlah membebaskan yang satu
untuk dapat menindas yang lain melainkan membebaskan dan menggiring semuanya
menuju ketundukan dan kepasrahan tunggal kepada Dzat Yang Serba Tunggal: ALLAH,
Sang Mutlak. Dengan hanya otoritas yang tunggal ini (al-tauhid), Islam tidak
menginginkan ada otoritas lain yang merasa berhak mensubordinasi yang lain.
Islam sangat keras mengecam dan mengancam klaim-klaim otoritas (al-syirk)
di luar otoritas sejati (Allah). Karena dari klaim-klaim itulah sejarah
penderitaan penindasan antar sesama manusia berlangsung.
Keistimewaan
bagi manusia hanya dapat diraih (secara relatif) melalui ketakwaan Q.S
al-Hujurat 49:13
Hai manusia, Sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal.
Melalui
mekanisme sebagaimana dilansir dalam Q.S 2:3
1. Alif laam miin.2. Kitab(Al Quran) ini
tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, 3. (yaitu)
mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan
sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Ketakwaan mengidealkan tauhid dalam al-iman
bi ghaib (keyakinan metafisis non-materi kepada Allah Yang Ghaib) yang
berkorelasi dengan implementasi keimanan berupa iqamah al-sholah dan al-ihsan
(perbuatan baik kepada sesama) melalui distribusi kekayaan. Itulah yang
tercermin dengan jelas dari ayat-ayat mengenai perintah sholat yang senantiasa
(secara paradigmatik) bergandengan dengan perintah berzakat.[1] Islam
memberikan perhatian serius kepada yang tidak berdaya dengan mengendalikan
orang-orang kaya dan berkuasa melalui mekanisme ihsan dan zakat.
Islam
tidak berpretensi menjadikan semua orang berlimpah materi dan kekuasaan karena
yang demikian disamping mustahil, Islam menekankan makna kebahagiaan dan
kemakmuran pada rasa syukur yang bersifat immaterial.
Perjuangan dakwah Rasulullah berorientasi
memperbaiki landasan moral dan mental (al-hilm); serta membebaskan
manusia dari belenggu-belenggu moral hazard (al-jahil) menuju penyerahan
absolut (al-tauhid) kepada Yang Maha Mutlak dan Yang Maha Bijaksana (al-Hakim
al-Halim). Rasulullah tidak mempersoalkan siapa kaya-siapa miskin; siapa
yang berkuasa dan siapa yang dikuasai selama tidak ada kesewenang-wenangan.
Salah satu predikat Rasulullah sebagai sayyid al-masakin (pelindung
orang-orang miskin) merupakan rekaman sejarah terhadap sikap keberpihakan
Rasulullah terhadap pihak-pihak tak berdaya yang potensial menjadi korban
kesewenang-wenangan.
Penutup
Sejarah penguasaan dan penaklukan antara yang
satu dengan yang lain adalah setua sejarah itu sendiri. Mereka yang dikuasai
dan seringkali terampas hak-haknya berjuang melepaskan diri dari penguasaan.
Alat perjuangannya beragam, termasuk menggunakan semangat keagamaan atau justru
dengan mencampakkannya. Celakanya, keberhasilan membebaskan diri dari
penguasaan itu justru menjerumuskan mereka menjadi penguasa-penguasa baru
dengan sifat-sifat yang tak berbeda: menindih dan menindas.
Agama sendiri sesungguhnya efektif sebagai
pegangan bagi orang yang merasa dirinya terbatas dan tidak berdaya. Yang paling
sering diposisi tersebut adalah orang miskin, individu atau masyarakat yang
hak-haknya dikebiri, rakyat yang tidak memiliki akses terhadap kekuasaan dan
selalu diperlakukan tidak adil, dan orang-orang dengan pendidikan tertinggal.
Dalam agama mereka melabuhkan diri dan berharap kepada Yang Takterbatas dan
Yang Mahaberdaya. Dengan kekuatan suprematifnya, nilai-nilai agama memberikan
pertahanan moral, mental, spiritual, dan optimisme kepada mereka dari
tekanan-tekanan ketidakberdayaan dan rasa keterbatasan tersebut. Dari sisi ini,
nilai ajaran agama telah memberikan modal penting bagi manusia untuk bangkit dari
keterpurukannya.
Pemegang otoritas keagamaan (agamawan,
rohaniawan, ulama, ahli agama, dan lembaga-lembaga keagamaan)-lah yang harus
bertanggungjawab bila umatnya tetap berkubang di lumpur keterpurukan dan
kebodohan. Pengalaman gereja yang mengibiri hak-hak berketuhanan umat Kristiani
di masa lalu (terkhusus peran gereja Eropa); yang menjadi akar dari
kritik-kritik tajam dan pernyataan-pernyataan kejam (misal, agama adalah candu,
Tuhan sudah mati, dan Tuhan adalah ilusi) di Barat, tidak memiliki korelasi
yang setara dengan pengalaman keagamaan umat Islam. Maksudnya, umat Islam tidak
memiliki kenangan massif yang kelam diperdayai rejim keagamaan sebagaimana
Kristen dengan gerejanya. Justru, sedari awal, Islam membebaskan penganutnya
berhubungan dengan Allah dengan cara yang sangat elegan tanpa perantara semisal
lembaga kegerejaan (dalam Kristen) selama sesuai dengan tuntuntan al-Quran dan
Hadis. Keberadaan pemuka agama dalam Islam tidak bersifat hirarkis dan mengikat
secara yuridis-teologis. Artinya sedari awal konsep teologis dalam Islam adalah
membebaskan namun bertanggungjawab dan bersifat proporsional.
Hand out sederhana dalam kegiatan Pelatihan UKM (Unit Kegiatan
Mahasiswa) Pengembangan Intelektual UIM (Universitas Islam Madura) Pamekasan di
P.P. Nasyrul Ulum, Bagandan 06 Desember 2010
[1]
Q.S al-Baqarah 2:3; 2:43; 2:177; 2:83; 2:110; 2:277; al-Nisa' 4:77;
4:162; al-Maidah 5:12; 5:55; al-Anfal 8:3 dan seterusnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar