Oleh Syukron Affani
"Assalamualaikum...," suara uluk keselamatan ini membuyarkan konsentrasi bacaan saya.
"Assalamualaikum...," suara uluk keselamatan ini membuyarkan konsentrasi bacaan saya.
"Ijin bawa HP untuk UNAS...," dan saya mafhum. Anak-anak didik di tempat saya memohon kelonggaran untuk diperbolehkan membawa gadget seluler. Sesuatu yang diatur dengan keras dan terlarang. Kali ini dan sebenarnya sudah yang kesekian kalinya saya ijinkan, spesial untuk Ujian Nasional (UNAS atau UN). Inilah realitas yang saya sesali tetapi saya terus menjadi bagian di dalamnya.
Saya pasti orang baik, minimal sudah berusaha menjadi orang yang baik meski belum tentu benar. Anak-anak ini juga. Mereka di pesantren dengan Ta'lim al-Muta`allim dan sekian pendidikan akhlak amaliy dan nadzariy. Sesekali nakal itu pasti. Akan tetapi berhadapan dengan Ujian Nasional, semua orang (maksudnya, kami) berubah menjadi "orang baik dengan makna yang diperluas" (niru-niru istilah rapat konsolidasi partai Demokrat). Kami menjadi manusia yang melupakan hajat terhadap kebenaran dan memodifikasi kebaikan. Bagaimana bisa, saat di sekolah, menyontek itu haram muakkad. Namun untuk UNAS, menyontek itu halal dan sunnah berjamaah. Ck..ck..ck...
Memangnya saya dulu tidak begitu? justru karena dulu tidak lebih sama seperti itu, saya heran, kenapa macam begini makin lumrah saja hingga saat ini! Tetapi dulu saya ikut ujian mati-matian belajar tanpa bantuan contekan. Murni wangsit. Harus mati-matian karena saya murid sama sekali benar-benar tidak istimewa untuk pelajaran-pelajaran yang di UNAS-kan. Sempat di suatu kali mengikuti ujian matematika. Soal ujian 45 multiple choice dan yang saya jawab 50 soal! Alhasil saya siap tidak lulus secara ksatria: mati bertarung meskipun dengan kualitas petarung ecek-ecek. Saya merasa sempat bangga mendapat nilai kelulusan yang saya sendiri ragu bisa mendapatkannya. Rupanya nilai tersebut nilai "rahmat". Canggih sekali. Saya harus jujur.
Kembali kepada anak didik di tempat saya. Langkah malapetaka diambil dan harus segera dilupakan untuk dilakukan kembali pada UNAS berikutnya. Oh, ini demi kebaikan lebih banyak bagi masa depan anak-anak didik. Begitu guman saya sangat tidak yakin. Oh....
Benar rasanya ungkapan Yusril Ihza Mahendra, Singapura bagus bukan karena orang-orang di sana baik-baik. Singapura bagus karena sistem dan penegakannya. Orang brengsek di sana terpaksa menjadi orang baik. Di Indonesia, orang baik-baik seperti kami terpaksa menjadi sekumpulan orang-orang brengsek. Wallahu a`lam...
Memangnya saya dulu tidak begitu? justru karena dulu tidak lebih sama seperti itu, saya heran, kenapa macam begini makin lumrah saja hingga saat ini! Tetapi dulu saya ikut ujian mati-matian belajar tanpa bantuan contekan. Murni wangsit. Harus mati-matian karena saya murid sama sekali benar-benar tidak istimewa untuk pelajaran-pelajaran yang di UNAS-kan. Sempat di suatu kali mengikuti ujian matematika. Soal ujian 45 multiple choice dan yang saya jawab 50 soal! Alhasil saya siap tidak lulus secara ksatria: mati bertarung meskipun dengan kualitas petarung ecek-ecek. Saya merasa sempat bangga mendapat nilai kelulusan yang saya sendiri ragu bisa mendapatkannya. Rupanya nilai tersebut nilai "rahmat". Canggih sekali. Saya harus jujur.
Kembali kepada anak didik di tempat saya. Langkah malapetaka diambil dan harus segera dilupakan untuk dilakukan kembali pada UNAS berikutnya. Oh, ini demi kebaikan lebih banyak bagi masa depan anak-anak didik. Begitu guman saya sangat tidak yakin. Oh....
Benar rasanya ungkapan Yusril Ihza Mahendra, Singapura bagus bukan karena orang-orang di sana baik-baik. Singapura bagus karena sistem dan penegakannya. Orang brengsek di sana terpaksa menjadi orang baik. Di Indonesia, orang baik-baik seperti kami terpaksa menjadi sekumpulan orang-orang brengsek. Wallahu a`lam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar