oleh Syukron Affani, M.S.I
A. Pendahuluan
Perbincangan mengenai apa yang dapat kita
(manusia) ketahui dan pikirkan berlanjut pada pertanyaan bagaimana kita dapat
mengetahui dan memikirkan "apa" tersebut. Pertanyaan terakhir ini
terkait dengan perangkat, alat, dan cara yang dapat digunakan umat manusia
dalam memperoleh pengetahuan dan kebenaran. Persoalan cara dalam mendapatkan
pengetahuan sebagai concern epistemologi penting untuk diketahui dan
dipahami. Hal ini berguna untuk melacak pondasi dan konstruksi bangunan
pengetahuan umat manusia yang bermacam-macam. Para tokoh pemikir (filosof)
mengemukakan pandangan-pandangannya mengenai persoalan ini. Sebutlah John Locke
dengan pandangan empirisismenya, Rene Descartes dengan filsafat rasionalisme,
Emmanuel Kant dengan kritisismenya, Henry Bergson (Prancis-Yahudi) melalui
pandangan intuisionisme dan banyak lagi yang lain.
"Alat" pelacak pengetahuan memiliki
kepentingan untuk menjawab pertanyaan: bagaimanakah cara kita memperoleh
pengetahuan; apakah dengan pengalaman, akal, kombinasi di antara keduanya, atau
melalui intuisi (rasa/dzauq).[1] Selain
yang terakhir, ketiga pandangan yang lain telah menandai kebangkitan ilmu
pengetahuan, budaya, dan peradaban Eropa. Ilmu alam dan sosial di Eropa
dipenuhi dengan semangat ketiga perangkat epistemologis tersebut. Renaissance
di Eropa telah mengibaratkan alam ini sebagai mesin mekanis baik melalui
pandangan rasionalisnya atau empirisnya.[2]
Ilmuwan Muslim sendiri memandang keempat
epistemologi itu sama-sama penting dan absah. Satu dengan yang lainnya dianggap
dapat saling melengkapi meskipun masing-masing memiliki aspek yang unik dan
mengesankan bertolak belakang. Indera atau persepsi inderawi (sense-perseption)
memunculkan metode induksi yang didasarkan pada fakta empiris (mahsusāt)
dan eksperimentasi. Dari akal muncul teori deduksi, yaitu pengambilan
kesimpulan yang khusus dari pernyataan-pernyataan atau rumus-rumus yang
bersifat umum. Akal ini melahirkan ilmu berpikir atau "logika" yang
merupakan cara berpikir abstrak untuk memahami objek-objek ma'qulāt (intelligible)
yang tidak bisa ditangkap oleh persepsi inderawi. Sedangkan hati memunculkan
metode intuitif yang menangkap objek-objek pengetahuan tidak melalui persepsi
inderawi atau penalaran logis, tetapi melalui penyinaran (illumination)
atau penyingkapan (kasysyaf) yang langsung berasal dari Tuhan[3]
sebagai Sang Realitas Absolut.
Secara historis,
rasionalisme yang digagas Rene Descartes bersama-sama aliran yang lain semisal empirisme
(Inggris), kritisisme, idealisme, positivisme (Comte), materialisme, marxisme,
pragmatisme, eksistensialisme, nihilisme hingga strukturalisme merupakan bagian
dari arus filsafat materialis. Semua trend intelektual tersebut menyumbang pada
kemajuan sains modern yang begitu pesat dan canggih, sehingga akhirnya
paradigma saintifiklah yang menjadi paradigma utama kemodernan.[4]
Sebagai sistem filsafat "pelacak"
pengetahuan, baik empirisisme, rasionalisme, kritisisme, maupun intuisionisme,
menarik untuk dikupas. Namun, tulisan ini akan memfokuskan pembahasan pada
filsafat rasionalisme yang digagas, terutama oleh Rene Descartes dan unsur-unsur
aliran ini dalam studi sosial-keagamaan. Selengkapnya di ka'dintoh
[1] Penjelasan lebih jauh
mengenai garis besar epistemologi ini dapat dilihat dalam Louis O. Kattsoff, Pengantar
Filsafat, (Tiara Wacana: Yogyakarta, 1992) hlm 137-146.
[2] Ibid., hlm.
274
[3] Mulyadi Kartanegara, Mozaik
Khazanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago, (Jakarta: Paramadina,
2000), hlm. 119
[4] Emanuel Wora, Perenialisme:
Kritik atas Modernisme dan Postmodernisme, (Yogyakarta:Kanisius,
2006), hlm. 43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar